Hehehe Epik kali ini nge-post cerpen tugas pelajaran filsafat-nya Epik waktu semester 2 dulu. Ceritanya Epik disuruh dosennya Epik buat bikin cerpen yang menggambarkan selama ini pas ikut pelajaran filsafat itu apa yang Epik dapet.... jadi monggo baca ya~
Apabila ada nama, tempat, dan kejadian yang mirip, sesungguhnya itu hanya kebetulan belaka...
Apabila ada nama, tempat, dan kejadian yang mirip, sesungguhnya itu hanya kebetulan belaka...
(Jika ingin
meng-copy cerpen ini dengan alasan dan tujuan apa pun mohon meninggalkan comment untuk ijin. Meng-copy untuk tujuaan komersil sangat dilarang dan tidak diijinkan!!!)
-Angkuh Angkara-
Angkuh, sebuah kata yang bermakna ego
besar dengan sedikit bumbu kesombongan. Andai kata "Angkuh" merupakan
nama orang, pastilah orang itu sombong, sesombong namanya. Ah... Mengapa aku
terlampau marxis. Tak seharusnya aku berpikir seperti itu. Tapi apa mau dikata,
seumur hidup mungkin aku hanya mengenal satu orang yang bernama Angkuh dan aku
rasa namanya memang sedikit banyak mencerminkan karakternya.
Angkuh Angkara, nama yang cukup berat
jika dipikul seorang manusia biasa. Tapi menjadi tidaklah mengejutkan jika nama
tersebut dipikul oleh seorang pria nomor satu di negeri yang ku tinggali. Ya...
Angkuh Angkara adalah kepala negara yang menunggangi tahta sebuah negeri
bernama Falsafah. Angkuh Angkara sesungguhnya kepala negara yang baik walau
kadang aku berpikir dia agak berbeda. Menurutku tergolong orang yang frontal
dan mungkin saja di masa mudanya dia suka pergi berdemo, sekali lagi itu hanya
“mungkin”.
Sejujurnya aku tidaklah mengenal
dirinya begitu dekat. Karena aku hanyalah seorang rakyat kecil yang merasa
sedikit ilmunya dibanding dengan Angkuh Angkara. Sepengetahuanku, dia kepala
negara yang cukup merakyat, terbukti dari beberapa kali aku memergokinya
membaur dengan rakyat kecil dan dengan asyiknya dia memetik gitar kemudian
mulai melantunkan irama-irama dangdut. Dalam hati aku terkekeh seperti rubah.
Lucu sekali tingkah orang ini, sangat kontras sekali dengan peringainya saat
berpidato, sekelebat dalam alam pikirku muncul bayangannya saat berpidato.
Selain berbaur dengan rakyat kecil, dia sering terlibat kegiatan sosial dengan
anak-anak jalanan yang kurang mampu. Tidak salah jika aku mengatakan bahwa dia
kepala negara yang baikkan?. Hahaha bicara apa aku ini, seperti penganut
postivisme saja, padahal mungkin saja ada maksud lain dibalik sikap baiknya.
Aku cukup sering mendengar celotehnya
saat berpidato. Aku suka ketika
pidatonya menjadi sangat berwibawa, garang, dan berapi-api mengingatkan
aku pada sosok seorang tokoh pahlawan negeri, benar-benar berkharisma. Tapi
bagaimanapun dia adalah manusia bisa. Manusia biasa yang memiliki kelebihan dan
sudah sangat pasti memiliki kekurangan. Aku sangat muak dan mengila ketika dia
mulai bicara tinggi dengan gaya bahasa yang aku sendiri dan sebagian rakyat
kecil susah untuk mencerna. Dalam setiap kata “tinggi” yang ia ucapkan, entah
mengapa aku menemukan makna yang lebih condong kepada makna kesombongan
daripada makna menggurui. Seperti ketika dia bercerita bahwa dia pernah
memenangkan sebuah sayembara yang akhirnya menjadi titik nadirnya untuk berubah
kehidupannya. Aku rasa titik nadir itu juga yang agaknya membuat dirinya mulai
lupa daratan. Ada kesan melebih-lebihkan dalam dia bercerita, ada kesan sombong
yang seolah membedakan kedudukanku dan rakyat kecil lain dengan dirinya, ada
kesan bahwa aku dan rakyat kecil lainnya memang tidak pernah memenangkan
sayembara apapun kecuali sayembara Tuhan dalam proses penciptaan kami, dan sejujurnya
hal itu terkadang membuatku benar-benar muak. Suatu hari dia akan kena batunya,
pikirku. Aku yakin itu tak akan lama lagi.
Ada seorang bijak yang mengatakan bahwa di atas gunung masih
ada gunung. Aku kira ada benarnya juga kata orang bijak itu, benar-benar persis
dengan yang harus dialami Angkuh Angkara. Harus ada yang “menamparnya”. Jika
tidak ada yang menamparnya maka akan sombonglah dia selamanya. Tuhan, tak
perlulah Engkau ulurkan tangan-Mu untuk “menamparnya”, biarkan tangan-tangan
kotor lain yang melakukannya.
***
Hari ini aku datang pada pidato
mingguannya. Walaupun dapat dikatakan aku tak terlalu menyukai sikap
“angkuhnya”, bukan berarti aku tidak ingin melihat aksinya dalam mengolah kata.
Malah justru aku tidak pernah absen sekalipun dalam pertunjukan ini. Aku mengambil
duduk beberapa deret dari belakang agar bisa mengamatinya dan mengamati reaksi
rakyat kecil yang siap mendengar pidatonya. Sepertinya hari ini dia agak telat,
hm… seperti biasanya.
Tak lama kemudian dia datang dengan
kemeja putih dan celana berwarna hitam, lagi-lagi seperti biasanya. Kemudian
dia mulai duduk, membuka handphonenya
yang canggih, dan mempersiapkan diri untuk pidato. Setelah siap, dia mulai
membuka pidatonya dengan pertanyaan-pertanyaan kecil untuk memancing rasa ingin
tahu pendengarnya. Penbukaan yang cukup cerdas pikirku. Namun ketika mulai
masuk ke inti pidatonya, lagi-lagi ia berceloteh mengenai prestasinya yang
pernah dia raih. Aku tertarik tapi aku juga benar-benar muak. Alangkah
sombongnya orang ini, pantas saja ketika dia berpidato beberapa rakyat kecil di
bagian belakang berbisik-bisik. Tiba-tiba aku teringat beberapa beberapa teman
sesama rakyat kecil menggunjingkannya dengan cukup kasar. Beberapa orang
memperoloknya dengan sebutan-sebutan kasar,
menjulukinya, bahkan yang paling kasar adalah menghina dina fisiknya.
Ah… aku benci sekali jika merambah olok-olok fisik. Walau aku tak menyukainya,
kupingku cukup memerah mendengar perolokan tersebut. Bagiku tak pantaslah
mengolok pemberian Tuhan. Jika Tuhan saja tak memperolok kekurangannya lalu
pantaskah manusia biasa memperolok begitu saja?. Sok bijak sekali aku ini.
Di tengah aku melamun, dia mengutarakan
sebuah ide.
“Bagi kalian rakyat kecil yang ingin
mengikuti serta memenangkan sayembara, mari akan aku bagikan ilmu yang kupunya.
Bentuklah grup agar aku bisa segera membagi ilmuku, ada yang berminat?”
ucapnya.
Lalu aku melihat sebuah tangan melayang
di udara. Tangan milik seorang anak kurus dengan potongan rambut yang hm… cukup
aneh. Dia mengacungkan tangannya seolah ingin mengutarakan sesuatu.
“Aku… Aku tidak berminat!” serunya
dengan lantang.
Hahaha bantinku. Menohok sekali ucapan
anak ini, Begitu berani dan memang patut untuk diberi applause atas keberaniannya mengungkapkan pendapatnya, walau jujur tingkah lakunya kikuk dan
aneh.
Aku kembali memperhatikan Angkuh
Angkara. Aku ingin melihat ekspesi yang terpahat di wajahnya, mencari reaksi atas aksi telak anak tersebut. Meski hanya sedikit aku dapat menangkap raut
terkejut dan merasa sedikit dipermalukan. Aku cukup menikmati ekspersi itu,
sungguh konyol pikirku. Hahaha siapa aku, berani-beraninya memperolok orang
yang seharusnyaku hormati. Tapi tak apalah, sekali-sekali aku ingin sedikit
nakal dengan memperoloknya.
“aku ngga tanya” seru Angkuh Angkara dengan ekspresi aneh yang tak dapat
ku gambarkan lagi.
Aku kembali memalingkan wajahku kepada
anak lelaki tersebut. Dia tampak begitu marah dan dendam. Karena merasa
dipermalukan oleh Angkuh Angkara. Aku
rasa ini bukan pertama kalinya dia dilecehkan, aku pikir pasti cukup sering.
***
Angkuh Angkara menenteng tas miliknya,
lalu keluar ruangan pidato. Kemudian disusul oleh semburatnya rombongan rakyat
kecil yang hadir dalam pidatonya. Anak lelaki itu menerobos rombongan rakyat
kecil yang berhambur dan mendekati Angkuh Angkara. Aku dari jauh mengamati
gerak gerik anak lelaki tersebut, aku mencium gelagat tak baik. Kucoba untuk
sedikit bersabar menunggu pertunjukan apa yang akan terjadi setelah ini. Anak
itu sedang berusaha mengajak bicara Angkuh Angkara. Namun tampaknya Angkuh
sudah terlalu malas untuk menanggapi anak ini karena insiden sebelumnya. Merasa
diacuhkan, anak ini tak puas terlihat dari raut mukanya yang menyimpan sesuatu.
Rasanya aku sedikit ingat sosok anak lelaki ini. Aku rasa dia adalah anak
lelaki yang sering dijadikan buah bibir rakyat kecil lain. Aku dengan anak itu
memang sering terlibat masalah dengan orang-orang penting, tak heran jika kali
ini dia berselisih paham dengan Angkuh Angkara. Toh... Angkuh memang sering
mengacuhkan anak macam ini.
Ku lihat dari jauh, sepertinya ada
perselisihan kecil di antara mereka. Sesuatu mengejutkan terjadi, anak yang
agak aneh tersebut tiba-tiba saja mengambil sebuah gunting lalu
menghujam-hujamkannya ke arah Angkuh Angkara. Ah... Pemandangan yang
mengerikan, yang lebih mengerikan anak itu nampak tak merasa bersalah. Dia
malah berteriak-teriak dengan lantang.
''rasakanlah makhluk sombong, pantas
kau terima ini, teruslah abaikan aku, bodoh-bodohilah aku, kau kira rakyat
kecil sepertiku memang sebodoh itu kan? Hahaha aku tak menusukmu, Angkuh! Aku
hanya menusuk keangkuhanmu agar kau sadar! Hahaha" hanya nada puas yang
terlontar. Sakit jiwa dia, batinku. Nampaknya anak itu tak gentar, tak takut,
dan tak lari bahkan setelah menusuk Angkuh Angkara hingga terkapar. Menusuk
Ke''angkuh''an Angkuh.
Aku terkejut, tapi sejujurnya ada
benarnya anak ini. Menusuk keangkuhan angkuh, itu yang dia lakuan. Mematikan
rasa angkuh dalam tubuh angkuh milik Angkuh. Bah... Makin rumit sekali
rangkaian kataku.
Banyak orang mengerubung tubuh tak
berdaya Angkuh yang bermandikan darah. Ada yang sedikit menertawakan, ada yang
sangat syok, namun sebagian besar lebih banyak iba padanya. Aku hanya berujar
dalam hati, ah... Bisa apa kau sekarang? Kalau sudah begini kau butuh siapa?
Butuh orang lain nampaknya? Mana sombongmu Angkuh? Mana?. Angkuh Angkara, Pria
nomor satu di negeri Falsafah hanya mengerang sambil memegangi lubang yang
cukup besar di dada dan perutnya.
Anak lelaki itu tampak begitu puas,
seolah seluruh dendam yang ia pendam selama ini sudah terpuaskan. Aku merasa
aneh, mengapa tak ada yang mencoba menangkap anak ini. Semua orang hanya
bergumam dan menatap Angkuh. Tak ada yang benar-benar mencoba menolongnya. Tak
ada yang benar-benar mau bertindak. Aku kembali berpikir, mungkin saja memang
harus ada yang membunuh keangkuhan Angkuh. Mungkin memang harus. Apabila rasa
angkuh sudah begitu rekat dengan jiwanya, yah apa boleh buat. Jika memang
jiwanya ikut terbawa pergi bersama rasa angkuhnya, aku pun tak begitu heran.
Aku mengambil headset dan mulai mendengarkan sebuah lagu dari mp3 playerku. Ah... aku rasa lagu “Just My Imagination” milik The Cranberries sesuai dengan kejadian
hari ini. Karena aku sesungguhnya masih menganggap ini hanya imajinasi. hahaha
terasa seperti mimpi. Mimpi yang begitu buruk. Untunglah ini bukan mimpi
milikku.
Aku mengambil langkah pertama,
mengayunkan kaki menjauhi keramaian. Cobaku abaikan sekitarku, sambil menarik
jaket yang ku pakai, aku tersenyum kecil, lebih ke arah terkekeh. Hanya begini
saja akhir kisah Angkuh Angkara, pikirku. Ah... Kurang seru... Batin ku, sambil
terus menjauh.
-Selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar