Malam KIKOSer,
Malam2 gini enaknya baca cerita horor kali yaa...
Nah..Reyko dateng lagi dengan cerpen abal.*Lagi*
Semogaa KIKOSer terhibur.
PERINGATAN: Hanya bacaan khusus dewasa (Yang masi di bawah umur, nunggu cukup umur baru baca cerpen ini), tidak disarankan buat penderita darah tinggi/darah rendah. BACA'AN KHUSUS Orang yang bener2 nganggur.
Perkenalkan
namaku Lia, aku seorang penulis novel. Sudah beberapa hari ini aku tinggal di
tempat yang tidak lazim, di sebelah kamar jenazah. Bagaimana aku bisa tinggal
disini? Entahlah aku hanya membutuhkan tempat baru untuk menulis dan
mendapatkan ide-ide segar. Malam ini sangat sunyi seperti malam-malam
sebelumnya, karena memang “tetangga baruku” sangat tenang. Hahahaha, bagaimana
mungkin mayat bisa ribut dan membuat gaduh.
Aku
kembali pada kegiatan ku, yaitu menulis. Aku lihat lembaran ini masih kosong,
belum terisi cerita apapun. Aku melihat ke seberang rumah, kamar jenazah itu
tertutup rapat. Di depan banyak mobil-mobil ambulan yang diparkir rapi, seperti
siap menjemput korban kapan saja.
Aku
lihat lagi jalan yang menghubungkan tempat ku dengan kamar jenazah itu, sepi
seperti biasa. Jalan satu-satunya aku keluar dari tempat ini adalah melewati
kamar jenazah itu, kalau kalian pikir aku seperti terperangkap, jawabannya
tidak karena ini tempat tersunyi yang aku dapatkan, tempat ini langka, dan
sudah dua hari ini aku merasa sangat nyaman disini. Sebenarnya tempat aku
tinggal sekarang adalah rumah untuk petugas rumah sakit atau pengurus kamar
jenazah, dan dengan berbagai cara akhirnya aku bisa menempati rumah ini bersama
Pak Amar, petugas di kamar jenazah.
“Belum
tidur neng malam-malam gini?”
“Aduh...Pak.
Amar bikin kaget aja.”
“Hahaha,
dikira Bapak hantu ya?”
“Bukan Pak, Cuma kaget
aja. Bapak sendiri dari mana kok jam segini baru pulang?.”
“Iya neng, lagi rame banget
hari ini. Banyak pasien!”
“Korban kecelakaan Pak?”
“Bukan, tapi kebakaran.
Kasian banget satu keluarga gitu kebakarannya.”
“Ehm, hangus dong Pak?”
“Yaelah eneng mah malah
bercanda, ya iyalah angus. Masa’ basah, kan Bapak bilang kebakar tadi.”
“Hahahahaha, Iya Pak. Oya
itu apa pak? Kok gede banget.”
“Oh ini oleh-oleh kayak
biasa. Udahan ya neng, Bapak tidur dulu capek.”
“Iyaa..Pak duluan aja,
saya masih mau cari angin dulu.”
Aku
mengedarkan pandangan lagi ke seberang jalan. Tepat dimana kamar jenazah itu berada.
Bagaimana rasanya terbakar itu? Apa panas? Aku rasa mereka akan berbau seperti
daging panggang, bukannya daging dimana saja itu sama jika sudah terpanggang?
Entahlah.
Ku
coret-coret kertas di pangkuan ku, belum ada ide sama sekali. Semilir angin malam
menerpa wajah ku, entah mengapa teras rumah ini terlihat mencekam. Kuedarkan
pandangan ku, pohon mangga besar di samping ku ini entah sejak kapan membuat ku
tidak nyaman, sepertinya ada yang memperhatikan semua gerak-gerik ku di balik
rimbunya dedaunan di atas sana. Udara tiba-tiba semakin dingin dan ada bau-bau
aneh yang tiba-tiba aku hirup. Bau sate? Tidak mungkin ada seorang penjual
berjualan disini. Rumah ini berada di jalan buntu dan sudah aku bilang jalan
keluar-masuk satu-satunya adalah melewati kamar jenazah. Pastinya tidak ada
tukang sate yang iseng berjualan disini.
Ku
pandang halaman teras, tidak ada asap. Kuputuskan untuk masuk kedalam rumah,
ternyata bau sate itu semakin menyengat. Kuberanikan diri mencari sumber bau
ini, aku terlusuri rumah bergaya Belanda yang sudah tampak usang. Tiba-tiba
kudengar seseorang bersenandung, suara Pak Amar. Aku mengintip dari jendela
dapur yang terbuka, jendela besar itu membuat ku melihat dengan jelas apa yang
sedang Pak Amar lakukan.
Pak
Amar seperti memotong sesuatu, sayatan demi sayatan ditorehkan pada daging?
Atau apalah itu aku tidak bisa melihat dengan jelas. Aku lihat
potongan-potongan daging itu ia keluarkan dari kantong. Sambil bersenandung
kulihat Pak Amar mulai mengeluarkan isi kantong tersebut dan menatanya dengan
rapi di dekat tungku perapian dapur. Tiba-tiba mataku membulat melihat tiap isi
yang dikeluarkan dari kantong. Itu seperti potongan tubuh manusia, badan ku
mulai gemetar. Sambil bersenandung Pak Amar kembali menyayat tubuh itu,
memisahkan antara daging dengan tulang. Aku lihat potongan tubuh itu tidak
sepenuhnya mulus namun ada yang melepuh dan kehitaman seperti terbakar. Tidak
kulihat darah segar mengalir dari dari potongan tubuh itu, hanya darah-darah
coklat dan mengering.
Dengan
cermat Pak Amar memotong-motong tiap bagian, tulang yang tersisa langsung di
buang ke perapian begitu pula dengan daging yang dianggap tidak layak, baik itu
melepuh, terbakar, bernanah, atau menghitam. Perasaan mual itu tiba-tiba
muncul, dengan perlahan aku melangkah mundur.
“Mau kemana neng, kok
buru-buru? Jangan lihat aja to ayo bantu Bapak!”
Seketika
tubuhku membatu, keringat dingin mulai bercucuran. Aku lihat ia berbicara
padaku tanpa melepaskan pandangannya dari pisau yang ia pegang. Ingin aku
berlari tapi semua akses keluar dari tempat ini sudah tertutup pastinya,
gerbang keluar dari kamar jenazah pasti sudah terkunci.
“Lama
banget si enengnya, ayo kesini bantu Bapak.”
Kulihat
ia mulai berdiri dan berjalan kearah ku sambil membawa pisau dan kantong tempat
tubuh-tubuh tadi di tempatkan. Aku tidak bisa berlari, sepertinya kaki ini
menancap dengan bumi, ingin berteriak tapi yang terdengar hanya suara tangisan
ku. Tubuh ku hanya mengigil tanpa bisa berbuat banyak.
“Tolong ini dibuang keluar
yaa, daging-daging yang dalam kantong ini jelek banget.”
Aku
hanya melihat kantong yang ia sodorkan di di depanku, dadaku semakin sesak
karena takut. Kurasakan pisau di tangannya sudah membelai-belai lengan ku.
“Ayoo
neng Lia di ambil.”
Kurasakan
nyeri di lenganku sepertinya ia menorehkan beberapa goresan di sana.
“Di..di..di buang kemana
Pak?” jawabku dengan terbata.
“Buang di tungku
pembakaran dekat kamar jenazah saja.” Katanya sambil menuntun ku perlahan
menuju teras.
Ku gemgam dengan gemetar kantong yang sudah
berpindah ke tanggan ku. Dengan perlahan aku berjalan, entah mengapa menurut ku
cara terbaik saat ini adalah menuruti keinginannya. Saat berjalan menuju kamar
jenazah aku membalikkan badan dan kulihat Pak Amar masih berdiri di depan
teras. Aku hanya bisa menangis dan tiba-tiba semua terasa gelap.
“Neng..neng..bangun sudah
pagi, kok bisa-bisanya eneng ketiduran di kursi teras!”
Perlahan
ku buka mata, dan langsung saja aku berdiri dari kursi dan menatap takut pada
Pak Amar.
“Kenapa neng? Liat saya
kok kayak liat setan gitu.”
Kuedarkan
pandangan ku, ternyata sudah pagi. Apakah itu hanya mimpi. Aku hanya bisa
menarik nafas cepat, seperti orang yang habis berlari jauh. Apakah stres bisa
membuat ku bermimpi seperti itu.
“Lah..ditanya kok malah
ngelamun, ayo makan dulu neng Bapak sudah sediakan sate buat sarapan.”
Entah mengapa nafsu makan ku hilang, mimpi buruk itu benar-benar mengacaukan.
“Nggak usah Pak, saya lupa
ada janji sama penerbit. Saya keluar dulu.”
“Nggak mandi dulu neng?”
“Nanti aja Pak!”
Dengan
tergesa-gesa aku memasukkan laptop dan beberapa makanan ringan. Memasukkan
dengan asal ke dalam tas ku. Sepertinya aku butuh udara segar.
“Saya pergi dulu Pak.”
“Iya ati-ati neng.”
Sesampainya di rumah ku sendiri, aku langsung menuju kamar mandi. Melihat
pantulan diriku di cermin sungguh menyedihkan, tampang ku seperti orang depresi
dan tiba-tiba rasa nyeri menjalar di lengan ku. Kulihat ada bekas sayatan di
situ. Mendadak tubuh ku mengigil .
1 Tahun Kemudian
“Selamat ya Lia novel kamu
berhasil, aku percaya kamu pasti bisa menulis novel misteri. Waktu aku baca
berasa frustasi sendiri takut, seperti di kejar-kejar pembunuhnya, semoga
sukses yaa buat acara tanda tangan hari ini.”
“Makasi banyak Mbak.
Kulihat
sudah banyak orang yang antri meminta tanda-tangan di novel baru ku. Dengan
sabar aku memberikan tanda-tangan dan menuliskan ucapan atau kata yang
pengunjung inginkan aku tulis di novel mereka.
“Selanjutnya!”
“Dengan
siapa ini?”
“Amar.”
Aku langsung mengangkat kepalaku dan melihat sosok tidak asing itu berdiri.
“Terkadang penulis susah
membedakan mana kenyataan dan mimpi, dan semua terlihat jelas dalam tulisannya.
Iya kan neng?”
“Kamu kenal orang ini
Lia?” tanya Susan editor yang sedari tadi duduk disamping ku.
“Iya Mbak.”
“Lain kali kalau butuh ide
cerita main-main ke rumah, masih banyak yang belum bapak tunjukkan. Kayaknya
bisa di buat lanjutan buat novel kali ini.”
Entah
mengapa ketakutan itu muncul lagi, kulihat Pak Amar hilang di kerumunan orang.
Tiba-tiba badanku mendingin, sepertinya novel yang aku tulis menjadi nyata.
Pandangan mataku semakin berat, dan antara sadar atau tidak orang-orang di
sekitar ku mulai berteriak panik. Aku limbung.
“Sepertinya
pembunuh itu benar-benar mengejar ku.”
"FIN"
Yaa sekian dari Reyko~~
Maaf KIKOSer ini draf terakhir T_T, Semogaa ada waktuu lagii buat Cuap2 di KIKOS.
Keren!!! Bagus beneran loh!!!
BalasHapusReyko yang semangat nulis novel lagi....!!! Semangat hehehe...
-Epik-
makasii Epik ;* , doakan tangan and otak ini singkron buat nulis sesuatu yg lebih bagus buat KIKOS.ahahah.
Hapustapi ciiyuss deh itu belum aq baca ulang..and blm q edit ~_~
~Reyko~
okeh sip!
HapusBTW, kemaren udah Epik edit typo-nya :D
-Epik-
pantesann,,,makasii epikk.hhehehe
Hapus