Sabtu, 03 Agustus 2013

It's Just Nightmare Story

Malam KIKOSer,
Malam2 gini enaknya baca cerita horor kali yaa...
Nah..Reyko dateng lagi dengan cerpen abal.*Lagi*
Semogaa KIKOSer terhibur.

PERINGATAN: Hanya bacaan khusus dewasa (Yang masi  di      bawah umur, nunggu cukup umur baru baca cerpen ini), tidak disarankan buat penderita darah tinggi/darah rendah. BACA'AN KHUSUS  Orang yang bener2 nganggur.



Perkenalkan namaku Lia, aku seorang penulis novel. Sudah beberapa hari ini aku tinggal di tempat yang tidak lazim, di sebelah kamar jenazah. Bagaimana aku bisa tinggal disini? Entahlah aku hanya membutuhkan tempat baru untuk menulis dan mendapatkan ide-ide segar. Malam ini sangat sunyi seperti malam-malam sebelumnya, karena memang “tetangga baruku” sangat tenang. Hahahaha, bagaimana mungkin mayat bisa ribut dan membuat gaduh.
Aku kembali pada kegiatan ku, yaitu menulis. Aku lihat lembaran ini masih kosong, belum terisi cerita apapun. Aku melihat ke seberang rumah, kamar jenazah itu tertutup rapat. Di depan banyak mobil-mobil ambulan yang diparkir rapi, seperti siap menjemput korban kapan saja.
Aku lihat lagi jalan yang menghubungkan tempat ku dengan kamar jenazah itu, sepi seperti biasa. Jalan satu-satunya aku keluar dari tempat ini adalah melewati kamar jenazah itu, kalau kalian pikir aku seperti terperangkap, jawabannya tidak karena ini tempat tersunyi yang aku dapatkan, tempat ini langka, dan sudah dua hari ini aku merasa sangat nyaman disini. Sebenarnya tempat aku tinggal sekarang adalah rumah untuk petugas rumah sakit atau pengurus kamar jenazah, dan dengan berbagai cara akhirnya aku bisa menempati rumah ini bersama Pak Amar, petugas di kamar jenazah.
“Belum tidur neng malam-malam gini?”
“Aduh...Pak. Amar bikin kaget aja.”
“Hahaha, dikira Bapak hantu ya?”
“Bukan Pak, Cuma kaget aja. Bapak sendiri dari mana kok jam segini baru pulang?.”
“Iya neng, lagi rame banget hari ini. Banyak pasien!”
“Korban kecelakaan Pak?”
“Bukan, tapi kebakaran. Kasian banget satu keluarga gitu kebakarannya.”
“Ehm, hangus dong Pak?”
“Yaelah eneng mah malah bercanda, ya iyalah angus. Masa’ basah, kan Bapak bilang kebakar tadi.”
“Hahahahaha, Iya Pak. Oya itu apa pak? Kok gede banget.”
“Oh ini oleh-oleh kayak biasa. Udahan ya neng, Bapak tidur dulu capek.”
“Iyaa..Pak duluan aja, saya masih mau cari angin dulu.”
Aku mengedarkan pandangan lagi ke seberang jalan. Tepat dimana kamar jenazah itu berada. Bagaimana rasanya terbakar itu? Apa panas? Aku rasa mereka akan berbau seperti daging panggang, bukannya daging dimana saja itu sama jika sudah terpanggang? Entahlah.
Ku coret-coret kertas di pangkuan ku, belum ada ide sama sekali. Semilir angin malam menerpa wajah ku, entah mengapa teras rumah ini terlihat mencekam. Kuedarkan pandangan ku, pohon mangga besar di samping ku ini entah sejak kapan membuat ku tidak nyaman, sepertinya ada yang memperhatikan semua gerak-gerik ku di balik rimbunya dedaunan di atas sana. Udara tiba-tiba semakin dingin dan ada bau-bau aneh yang tiba-tiba aku hirup. Bau sate? Tidak mungkin ada seorang penjual berjualan disini. Rumah ini berada di jalan buntu dan sudah aku bilang jalan keluar-masuk satu-satunya adalah melewati kamar jenazah. Pastinya tidak ada tukang sate yang iseng berjualan disini.
Ku pandang halaman teras, tidak ada asap. Kuputuskan untuk masuk kedalam rumah, ternyata bau sate itu semakin menyengat. Kuberanikan diri mencari sumber bau ini, aku terlusuri rumah bergaya Belanda yang sudah tampak usang. Tiba-tiba kudengar seseorang bersenandung, suara Pak Amar. Aku mengintip dari jendela dapur yang terbuka, jendela besar itu membuat ku melihat dengan jelas apa yang sedang Pak Amar lakukan.
Pak Amar seperti memotong sesuatu, sayatan demi sayatan ditorehkan pada daging? Atau apalah itu aku tidak bisa melihat dengan jelas. Aku lihat potongan-potongan daging itu ia keluarkan dari kantong. Sambil bersenandung kulihat Pak Amar mulai mengeluarkan isi kantong tersebut dan menatanya dengan rapi di dekat tungku perapian dapur. Tiba-tiba mataku membulat melihat tiap isi yang dikeluarkan dari kantong. Itu seperti potongan tubuh manusia, badan ku mulai gemetar. Sambil bersenandung Pak Amar kembali menyayat tubuh itu, memisahkan antara daging dengan tulang. Aku lihat potongan tubuh itu tidak sepenuhnya mulus namun ada yang melepuh dan kehitaman seperti terbakar. Tidak kulihat darah segar mengalir dari dari potongan tubuh itu, hanya darah-darah coklat dan mengering.
Dengan cermat Pak Amar memotong-motong tiap bagian, tulang yang tersisa langsung di buang ke perapian begitu pula dengan daging yang dianggap tidak layak, baik itu melepuh, terbakar, bernanah, atau menghitam. Perasaan mual itu tiba-tiba muncul, dengan perlahan aku melangkah mundur.
“Mau kemana neng, kok buru-buru? Jangan lihat aja to ayo bantu Bapak!”
Seketika tubuhku membatu, keringat dingin mulai bercucuran. Aku lihat ia berbicara padaku tanpa melepaskan pandangannya dari pisau yang ia pegang. Ingin aku berlari tapi semua akses keluar dari tempat ini sudah tertutup pastinya, gerbang keluar dari kamar jenazah pasti sudah terkunci.
“Lama banget si enengnya, ayo kesini bantu Bapak.”
Kulihat ia mulai berdiri dan berjalan kearah ku sambil membawa pisau dan kantong tempat tubuh-tubuh tadi di tempatkan. Aku tidak bisa berlari, sepertinya kaki ini menancap dengan bumi, ingin berteriak tapi yang terdengar hanya suara tangisan ku. Tubuh ku hanya mengigil tanpa bisa berbuat banyak.
“Tolong ini dibuang keluar yaa, daging-daging yang dalam kantong ini jelek banget.”
Aku hanya melihat kantong yang ia sodorkan di di depanku, dadaku semakin sesak karena takut. Kurasakan pisau di tangannya sudah membelai-belai lengan ku.
“Ayoo neng Lia di ambil.”
Kurasakan nyeri di lenganku sepertinya ia menorehkan beberapa goresan di sana.
“Di..di..di buang kemana Pak?” jawabku dengan terbata.
“Buang di tungku pembakaran dekat kamar jenazah saja.” Katanya sambil menuntun ku perlahan menuju teras.
Ku gemgam dengan gemetar kantong yang sudah berpindah ke tanggan ku. Dengan perlahan aku berjalan, entah mengapa menurut ku cara terbaik saat ini adalah menuruti keinginannya. Saat berjalan menuju kamar jenazah aku membalikkan badan dan kulihat Pak Amar masih berdiri di depan teras. Aku hanya bisa menangis dan tiba-tiba semua terasa gelap.

“Neng..neng..bangun sudah pagi, kok bisa-bisanya eneng ketiduran di kursi teras!”
Perlahan ku buka mata, dan langsung saja aku berdiri dari kursi dan menatap takut pada Pak Amar.
“Kenapa neng? Liat saya kok kayak liat setan gitu.”
Kuedarkan pandangan ku, ternyata sudah pagi. Apakah itu hanya mimpi. Aku hanya bisa menarik nafas cepat, seperti orang yang habis berlari jauh. Apakah stres bisa membuat ku bermimpi seperti itu.
“Lah..ditanya kok malah ngelamun, ayo makan dulu neng Bapak sudah sediakan sate buat sarapan.”
          Entah mengapa nafsu makan ku hilang, mimpi buruk itu benar-benar mengacaukan.
“Nggak usah Pak, saya lupa ada janji sama penerbit. Saya keluar dulu.”
“Nggak mandi dulu neng?”
“Nanti aja Pak!”
Dengan tergesa-gesa aku memasukkan laptop dan beberapa makanan ringan. Memasukkan dengan asal ke dalam tas ku. Sepertinya aku butuh udara segar.
          “Saya pergi dulu Pak.”
          “Iya ati-ati neng.”
          Sesampainya di rumah ku sendiri, aku langsung menuju kamar mandi. Melihat pantulan diriku di cermin sungguh menyedihkan, tampang ku seperti orang depresi dan tiba-tiba rasa nyeri menjalar di lengan ku. Kulihat ada bekas sayatan di situ. Mendadak tubuh ku mengigil .
1 Tahun Kemudian
“Selamat ya Lia novel kamu berhasil, aku percaya kamu pasti bisa menulis novel misteri. Waktu aku baca berasa frustasi sendiri takut, seperti di kejar-kejar pembunuhnya, semoga sukses yaa buat acara tanda tangan hari ini.”
“Makasi banyak Mbak.
Kulihat sudah banyak orang yang antri meminta tanda-tangan di novel baru ku. Dengan sabar aku memberikan tanda-tangan dan menuliskan ucapan atau kata yang pengunjung inginkan aku tulis di novel mereka.
“Selanjutnya!”
“Dengan siapa ini?”
“Amar.” Aku langsung mengangkat kepalaku dan melihat sosok tidak asing itu berdiri.
“Terkadang penulis susah membedakan mana kenyataan dan mimpi, dan semua terlihat jelas dalam tulisannya. Iya kan neng?”
“Kamu kenal orang ini Lia?” tanya Susan editor yang sedari tadi duduk disamping ku.
“Iya Mbak.”
“Lain kali kalau butuh ide cerita main-main ke rumah, masih banyak yang belum bapak tunjukkan. Kayaknya bisa di buat lanjutan buat novel kali ini.”
Entah mengapa ketakutan itu muncul lagi, kulihat Pak Amar hilang di kerumunan orang. Tiba-tiba badanku mendingin, sepertinya novel yang aku tulis menjadi nyata. Pandangan mataku semakin berat, dan antara sadar atau tidak orang-orang di sekitar ku mulai berteriak panik. Aku limbung.
“Sepertinya pembunuh itu benar-benar mengejar ku.”


 "FIN"
 Yaa sekian dari Reyko~~
Maaf KIKOSer ini draf terakhir T_T, Semogaa ada waktuu lagii buat Cuap2 di KIKOS.
Oyaa Aq ucapin makasii BANGET Buat KIKOSer yang komen/ninggalin jejak, walaupun cuma ucapan makasi.><, tetep berhargaa loo.


4 komentar:

  1. Keren!!! Bagus beneran loh!!!
    Reyko yang semangat nulis novel lagi....!!! Semangat hehehe...

    -Epik-

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasii Epik ;* , doakan tangan and otak ini singkron buat nulis sesuatu yg lebih bagus buat KIKOS.ahahah.
      tapi ciiyuss deh itu belum aq baca ulang..and blm q edit ~_~

      ~Reyko~

      Hapus
    2. okeh sip!

      BTW, kemaren udah Epik edit typo-nya :D

      -Epik-

      Hapus