Sabtu, 04 Mei 2013

Cerpen: Rian




Yak, Epik mau ikut-ikutan Reyko nih mulai bikin cerpen nih... hehehe Cerpen Epik kali ini berjudul "Rian" dan jika ada nama, tempat, atau kejadian yang mirip sesungguhnya itu hanya kebetulan belaka... Karena cerpen ini murni karangan aja kok, gak tau kenapa tiba-tiba Epik yang menggalau bikin cerpen ini. Jadi silahkan aja langsung menikmati. (Jika ingin meng-copy cerpen ini dengan alasan dan tujuan apa pun mohon meninggalkan comment untuk ijin. Meng-copy untuk tujuaan komersil sangat dilarang dan tidak diijinkan!!!)

Sumber Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwfvIvqZQVAjfsmTRksBXkeWn7CXsJuN1Fv3G9nFwVCWNH40QA64c-6x-jEAJJtBeWJ6Kjka76yscKoe-dX1PpgNBFsfexwc3SUudHng6btI0FXRc6wKQZswyOVlVrXmD2b5dBDCLGPltm/s1600/IsolationSadGirlHideFace.jpg

Ikhlas. aku rasa adalah kata yang mudah untuk diucapkan. Namun sejujurnya ikhlas adalah hal yang paling berat untuk dilakukan. Secara teori memang mudah meminta orang lain untuk mengikhlaskan sesuatu. Tapi ketika kamu atau aku dihadapkan oleh situasi dimana kamu atau aku diminta untuk ikhlas. Apakah itu semudah saat kamu atau aku meminta orang lain untuk ikhlas?.

Aku duduk lantai teras rumahku. sambil bersandar pada dinding kulipat lututku dan kupeluk erat. Kutumpukan wajahku pada lututku sambil merunduk. Air mata terus mengalir diiringi sesenggukan dan tarikan nafas yang tersendat-sendat. Handphone-ku terus bergetar dan berkedip-kedip di samping tempatku terduduk sekarang. Aku tidak tertarik melongoknya sama sekali. Di kepala berkecamuk banyak pikiran-pikiran yang sungguh membebani.


Alasanku menangis bukan karena aku sedang merasakan sakit atau karena sedang putus cinta. Tapi karena kabar yang barusan ku terima lewat telepon. Bimo menelponku, ia memberi kabar mengenai keadaan Rian. Aku memiliki perasaan tidak enak ketika suara Bimo mulai bergetar ketika menyebutkan nama Rian di telepon.

"Maaf Sya, Rian..." ia berhenti cukup lama  setelah mengucapkan nama Rian, seolah tidak kuasa menyebutkan apa yang terjadi pada Rian. Hidungku mulai merasakan sensasi tusukan jarum dan pandanganku mulai kabur akibat air mata yang menggenang.
"Rian ngga selamat Sya" terdengar suara isak dari Bimo yang aku tahu memang merupakan sahabat dekat Rian.

Air mata mulai menetes, membuat pandangan mataku menjadi sedikit lebih jelas. Aku menatap pot bunga milik ibuku lekat-lekat tapi pikiranku melayang-layang. Tuhan, bangunkan aku dari mimpi buruk ini Tuhan!. Aku memejamkan mata kuat-kuat, membuat ekspresi mengkerut-kerut di tengah wajahku. Aku tersadar bahwa ini memang bukan mimpi. Sesenggukan kecil muncul dari bibirku. Aku mulai meringkuk dan merapatkan diri ke dinding teras rumah. Sesekali kusebut nama Rian dalam tangisanku. Di dalam pikiranku yang melayang-layang, otakku memutar kembali setiap kenangan yang pernah kulalui bersama Rian. Terutama saat aku terakhir kali melihat sosok Rian.

***

"Aku besok mau penelitian, Sya" kata Rian dengan mantap sambil terus mengunyah nasi goreng yang sudah setengah piring dihadapannya.
"penelitian apa Yan?" kataku penasaran.
"Buat tugas kuliah tentang pencemaran" Jawabnya sambil kembali menyendokan sesuap nasi goreng ke dalam mulutnya.
"mau penelitian kemana Yan? Ujan-ujan gini lo" kataku melirik ke arahnya yang duduk di samping kiriku.
"di kali Brantas. Kan pencemarannya parah tuh... Nah Aku sama Bimo ada rencana penelitian secepatnya biar bisa cari solusi cepet, kan tema penelitianku sama Bimo buat cari solusi ngurangin pencemaran" Dia membetulkan posisi duduknya di atas kursi plastik yang agak kurang seimbang di atas trotoar paving.
"Yah... Sama Bimo lagi? Kamu ni kalau sama Bimo aja semangat banget... Inget ujan Yan... Kalau keterjang air bah baru tau rasa ntar!"
"Idih air bah apa'an Sya... Ngarang! Ini es teh pesenanku mana nih?" kata Rian sambil celingak-celinguk ke arah tukang nasi goreng.
"Mas, es teh-nya belum" aku berteriak ke arah tukang nasi goreng. Si tukang nasi goreng mengangguk dan segera menyuruh istrinya membuat es teh pesanan Rian.
"Jadi kapan mau berangkat penelitian?" tanyaku. Aku menyeruput es teh dari sedotan sambil memandangi Rian.
"Lusa kali, soalnya udah di ACC sama Pak Sujono"
"oh... Ati-ati aja Yan"
"Cie... kenapa kok khawatir gitu? ntar kalau aku pergi jangan kangen ya... hahaha" Rian tertawa karena berhasil menggodaku. Pipiku memerah tapi aku berusaha menyembunyikannya dengan ikut tertawa.
"idih apa'an... ogah kangen sama kamu" jawabku asal-asalan.
"bener loh ya! Awas kalau sampe nangis-nangisin aku" kata Rian sambil menunjuk-nujukku dan terus senyum-senyum. Ketika aku menatap senyuman Rian saat itu, entah mengapa aku berpikir bahwa itulah senyuman termanis milik Rian.

Lusa, Rian ternyata benar-benar berangkat ke sungai Brantas untuk penelitian bersama Bimo dan tim-nya. Rian berjongkok di depan ban sedangkan aku membantu memasukan beberapa barang kecil ke dalam mobilnya. Di dalam mobil ternyata sudah ada Citra dan Dika, teman penelitian Rian selain Bimo. Citra tersenyum kepadaku ketika aku menatapnya. Aku pun membalas senyuman Citra. Sedangkan Dika cuek bermain i-pad. Aku segera mendekati Rian yang sedang memeriksa ban.

"Lho? Citra jadi ikut Yan?" tanyaku.
"iya, katanya dia udah sehat dan pingin ikut penelitian ke Brantas" jawab Rian.
"oh... Ngga gitu...  katanya sempet tipes gitu, kira’in ngga jadi ikut" kataku acuh.

Sebenarnya aku memiliki perasaan yang kurang enak terhadap kepergian Rian dan kawan-kawannya ini. Tapi aku berdo'a semoga mereka baik-baik saja dan penelitiannya sukses. Rian melakukan pengecekan terakhir dan setelah semua siap ia membuka pintu pengemudi. Setelah masuk ia menutup pintu dan menyalakan mesin. Bimo duduk di samping Rian yang mengemudi.

"Ati-ati ya Yan" kataku berdiri mendekat ke kaca mobil yang terbuka. Eh belum sempat Rian menjawab, Bimo sudah menyeletuk.
"iya iya beh hahaha" satu mobil pun tertawa mendengar celetukan Bimo.

Aku cuma tertawa masam. Ku lepas kepergian Rian dan kawan-kawan hari itu sambil menekan kuat-kuat rasa khawatir.

Malamnya Rian menelponku. Ia mengabarkan bahwa ia dan kawan-kawan sampai tujuan dengan selamat. Hatiku cukup lega mendegar suara Rian yang sedari tadi siang sudah kutunggu-tunggu kabarnya.

"Sya... Udah kangen aku belum?" tanyanya tiba-tiba setelah kami kehabisan bahan pembicaraan.
"hahaha baru juga tadi siang ketemu Yan"
"kali aja udah kangen, soalnya aku kangen banget nih sama kamu hahaha" canda Rian. Lalu terdengar suara Bimo dari kejauhan yang menyeletuk
"I miss you bebeh Nisya... Hahaha"
"huss... Apa'an sih Mo... Sana'an ah... Minggir sono" terdengar suara Rian yang mencoba mengusir Bimo.
"Biarin Yan... Bimo kan emang udah gila dari dulu" kataku pura-pura menenangkan Rian.
"Iya, nih anak emang kurang kerja'an... Sampe mana tadi? Oh iya... Eh... Jaga'in Utel ya Sya" Utel itu kura-kura Brazil peliharaan kesayangan Rian.
"bukanya ada si Rani yang jaga'in Utel ya?" tanyaku.
"Rani mah gak bisa dipercaya Sya... Kalau inget aja dikasih makan, kalau ngga ya dibiarin gitu aja. Tuh anak sama kayak Bimo, sama-sama nyebelin"
"eh Rani tu kan adikmu juga Yan"
"biarin"
"iya deh, ntar aku rawat Utel. Demi kamu..."
"hahaha... Pake demi aku lagi, udah ya... Ini hapeku lowbat mau aku charge dulu... Besok siang aku telpon deh... Da..."
"iya... Da..."

Entah mengapa suara Rian malam itu terasa begitu lembut dan menentramkan hatiku. Malam-nya aku bermimpi Rian menemuiku sambil membawa Utel di tangan kiri dan membawa bunga di tangan kanannya. Aku bilang ke dia buat apa bawa bunga segala. Dia bilang pingin jadi cowok romantis. Aku tertawa. Rian tertawa.

Siangnya telpon dari Rian yang kutunggu tak kunjung datang. Padahal dia sudahku telpon berkali-kali bahkan sudahku sms berkali-kali juga tapi tidak ada balasan dari Rian.  Aku mengira mungkin Rian masih sibuk melalukan penelitian. Jadi aku pikir tidak ada gunanya menelpon Rian lagi, malah bisa-bisa aku mengganggu penelitiannya. Aku pun menghabiskan sisa sore itu dengan tiduran di sofa sambil mendengar musik dari MP3.

Aku terbangun saat tiba-tiba handphone-ku bergetar. Aku sedikit terkejut mungkin karena aku ketiduran, juga karena handphone tersebut ada di kantung celanaku. Suasana rumah ternyata sudah gelap. Handphone-ku masih bergetar. Aku mengira itu pasti telpon dari Rian. Aku buru-buru duduk sambil merogoh kantung celanaku berusaha mengambil handphone yang terjepit di kantung. Aku melihat layar handphone-ku tertera nama Bimo disana. Sepersekian detik sebelum menempelkan handphone pada telingaku berpikir mengapa Bimo yang telpon aku?.

"Halo, Mo? Ngapain telpon Aku?" tanyaku bingung.
"Halo... Nisya? Halo?" Suara Bimo terdengar putus-putus. Selain itu terdengar suara ribut-ribut dan suara gaduh seperti suara hujan di belakang suara Bimo.
"Halo... Bimo? Putus-putus Mo... Aku ngga denger" kataku.
"Sya... Sekarang gimana? Kedengaran?"
"iya mo... Udah ngga putus-putus lagi. Ngapain telpon Mo?"
"gini...gini... Sya... Dengerin aku dulu... Aku mau nyampai'in kabar Rian"
"kenapa Rian ngga telpon sendiri aja?" tanyaku mulai curiga karena sepertinya telah terjadi sesuatu yang tidak baik.
"Sya, Rian terseret arus pas pengecekan lapangan tadi sore. Dia ngga pakai pelampung dan sampai jam 7 ini masih belum ketemu" Jawab Bimo terdengar sedikit bergetar mungkin karena panik atau khawatir.
"Kok bisa Mo?" tanyaku pada Bimo.
"Gini Sya, tadi sore awalnya Rian dan aku ditemani pak Marno penduduk daerah Brantas berencana pergi ke Brantas untuk sekedar melakukan pengecekan lapangan. Kami bertiga naik sampan. Nah tiba-tiba Citra ngotot ikut. Kita udah bilang jangan, tapi dia maksa. Pelampung yang pak Marno punya cuma tiga aja. Akhirnya Rian ngalah ngasih pelampungnya ke Citra. Kita terus berangkat. Pas kira-kira jam lima'an hujan turun terus kayak ada air bah gitu nerjang sampan. Sampannya oleng terus kebalik. Aku, Rian, Citra, sama pak Marno masuk ke air. Terus karena cuma Rian yang ngga pakai pelampung, dia ngga bisa ngapung terus diseret air. Sampe sekarang Rian belum ketemu."
"Ya Allah! Kok bisa Mo..." Aku mulai menangis. Tanganku gemetar dan jantungku berdebar kencang.
"Kamu do'ain aja biar Rian selamat... Kamu ngga usah khawatir Sya... Rian pasti selamat!" Kata Bimo menenangkanku.
"Tapi Mo, Brantas itu sering makan korban nyawa. Gimana aku ngga khawatir Mo" jawabku sesengukan.
"InsyaAllah Rian selamat Sya... Do'ain aja Rian selamat"

***

Disinilah aku sekarang duduk memeluk kakiku. Aku merasa seolah ini mimpi dan aku tidak bisa bangun dari mimpi ini. Tiba-tiba aku merasakan sentuhan di pundak kananku. Setuhan lembut yang hangat. Ku tengok samping kananku, mama memelukku hangat. Kujatuhkan tubuhku dalam pelukan mama. Mama pun memelukku semakin erat.

"Ma... Rian Ma..."
"sttt... sudah... Sudah Sya" mama membelai rambutku yang kusut dengan lembut.
"Tuhan... Kenapa harus Rian ya Tuhan?" kataku sambil terus memeluk mama.
"Nisya... Nisya ngga boleh bilang gitu... Mungkin ini sudah waktunya Rian kembali kesisi-Nya. Nisya harus kuat"
"Tapi kenapa Nisya yang kehilangan Rian ma?"
"Karena Tuhan tau kalau Nisya yang paling kuat. Tuhan tau kalau hanya Nisya yang mampu menjalani ini semua"
"Nisya ngga bisa ma..."
"dengar kata mama Sya. Kamu harus ikhlas. Cinta Tuhan terhadap Rian lebih besar dari pada cinta kamu terhadap Rian... Nisya harus ikhlas ya nak ya..."

Aku masih terus menangis. Tapi kata-kata mama merasuk dalam kepala dan hatiku. Mungkin awalnya sangat berat untukku. Bagaimanapun aku harus sadar, tidak ada guna menyesali kepergian Rian. Secara fisik, Rian memang tidak akan pernah kembali lagi. Tapi yang aku tahu, aku masih punya satu hal yang membuatku dapat kuat bertahan. Yaitu kenagan dari setiap kejadian yang pernah kami miliki bersama-sama. Meski aku tak dapat menyentuh fisiknya, tapi kenangan tentang Rian tidak akan pernah mati dari hati dan pikiranku. Terima kasih Rian... Terima kasih atas setiap kenangan yang pernah kita ciptakan bersama... Kini aku akan mengikhlaskanmu....

-selesai-

Special Thank's to:
Mbak Nisya (temennya Reyko) yang namanya aku pakai jadi tokoh cerpennya Epik. Juga buat Reyko yang menginspirasi Epik bikin cerpen hahaha.... Juga buat Febry Senpai yang nama kura-kuranya "Utel" Epik pake jadi nama kura-kura Brazil punya tokoh Rian. makasih semua... 

1 komentar:

  1. Waahhh Cieee Epik uda mulai menjadikan aq inspirasi,.Whahahah ayoo semangat buat nulis^^

    BalasHapus