Selamat Malam KIKOSer~
Epik mau bagi-bagi WINK (Waktunya Info
KIKOS) nih… Info kali ini Epik ambil dari makalah matkul Bunkaron sekaligus
pengembangan Epik dari postingan dari Iitoko-dori yang kemaren udah Epik bagi’in (untuk baca postingan mengenai Iitoko-dori, lihat diakhir postingan ini ^^). Dari pada lama,
langsung baca ya~.
Latar
Belakang:
Jepang merupakan salah satu negara yang
mampu beradaptasi dari pengaruh negara-negara Barat dengan baik mengingat pada
era Edo Jepang pernah melakukan politik sakoku
atau menutup diri dari luar negeri. Meski ketika melakukan politik sakoku teknologi dan perkembangan Jepang
tertinggal sekurang-kurangnya dua abad dibanding dengan negara-negara Barat,
dalam kenyataannya Jepang dapat mengejar ketertinggalannya tersebut.
Perkembangan teknologi dan ekonomi Jepang melesat cepat bahkan dapat dikatakan
mampu melebihi rata-rata negara di Eropa saat ini. Kemampuan Jepang dalam
mengadaptasi budaya-budaya serta pemikiran-pemikiran baru dari Barat telah
membuat Jepang menjadi lebih kuat tanpa melupakan tradisi. Hal tersebut
berkaitan erat dengan nilai budaya Jepang yang disebut Iitoko-dori.
Iitoko-dori merupakan istilah di Jepang yang
memiliki arti "mengadaptasi elemen dari luar negeri” (Davies dan Ikeno,
2002:217). Jepang mampu menanfaatkan nilai-nilai positif budaya dari luar yang
masuk, kemudian digunakan sebagai jalan untuk membangun negaranya menjadi lebih
baik. Tidak terkecuali di bidang politik dan sistem pemerintahan.
Sistem pemerintahan Jepang saat ini
bersifat monarki konstitusional artinya negara dipimpin seorang raja atau
kaisar yang berbagi tanggung jawab dengan perdana menteri dalam menjalankan
pemerintahan. Dapat dikatakan bahwa raja atau kaisar hanya menjadi pemimpin
simbolis dalam pemerintahan karena roda pemerintahan sesungguhnya dijalankan
oleh perdana menteri dan staf-staf kenegaraan.
Sebelum revolusi Meiji, Jepang tidak
menggunakan sistem pemerintahan monarki konstitusional. Sejak era Kamakura
(1192-1333) hingga era Edo (1603-1867), Jepang menggunakan sistem pemerintahan
keshogunan yakni pemerintahan negara dijalankan oleh seorang shogun. Tugas dari
shogun sesungguhnya menangani segala hal yang berhubungan dengan bidang militer
dan keamanan rakyat Jepang terhadap serangan luar maupun dalam negeri. Namun
seiring berjalannya waktu, shogun semakin mendominasi pemerintahan negara,
bahkan kaisar seolah tidak memiliki andil dalam menjalankan pemerintahan sama
sekali. Hingga pada akhir era Edo, sistem pemerintahan yang dijalankan shogun
lengser ditandai dengan revolusi Meiji serta kemudian kekuasaan dikembalikan
kepada kaisar.
Setelah revolusi Meiji, Jepang
mengambil keputusan untuk membuka kerjasama dengan negara-negara luar. Jepang
menjadi negara yang mau belajar dari negara Barat dan mengejar
ketertinggalannya selama menutup diri.
Permasalahan:
Iitoko dori merupakan salah satu nilai
budaya yang berperan dalam kebangkitan Jepang terutama dalam sistem
pemerintahan era Meiji. Jepang saat itu berusaha untuk membuka diri dan
menyerap sebanyak-banyaknya informasi dari Barat. Hal ini sangat menarik untuk
diangkat menjadi sebuah makalah.
Tujuan:
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui keberadaan nilai budaya Jepang, iitoko-dori, dalam
sistem perintahan era Meiji.
Metode
Penelitian:
Metode yang digunakan dalam melakukan
penelitian ini adalah metode desktiptif kualitatif yang data-datanya bersumber
dari studi pustaka. Bogdan dan Taylor (1975:5) dalam Suwardi Endraswara (2006:
85) ‘kajian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati’. Kemudian, mengingat keterbatasan narasumber yang mengerti
mengenai politik dan sistem pemerintahan Jepang membuat peneliatan makalah ini
menggunakan metode studi pustaka.
1. Sistem Pemerintahan Era Edo menuju
Era Meiji
Pada era Edo, pemerintahan Jepang
berada dibawah kekuasaan shogun. Shogun menggunakan sistem pemerintahan bernama
bakuhan taisei 1) (幕藩体制). Sistem pemerintahan ini berpusat
pada shogun dan dengan kekuasaannya shogun membagi wilayah-wilayah di Jepang
menjadi beberapa han 2)
yang dikuasai daimyo (tuan tanah).
Para daimyo pada umumnya merupakan
keturunan dari klan-klan yang berperan dalan keshogunan dan berkuasa pada han dengan kebijakan oligarki. Kebijakan
oligarki ini dianggap hanya menguntungkan para daimyo dan merugikan bagi rakyat terutama kaum petani dan samurai.
Setelah terjadi berbagai pemberontakan dalam negeri, pemerintahan era Edo
menyerah dan digantikan era Meiji yang dipimpin kaisar.
Pergantian era Edo menjadi era Meiji
ditandai dengan dikembalikannya kekuasaan pemerintahan feodal yang dipegang
oleh Tokugawa Yoshinobu kepada kaisar. Pengembalian kekuasaan ini mencakup poin
pengembalian tanah para daimyo kepada
kaisar yang disebut hanseki hokan,
pembentukan han menjadi prefektur
yang dikenal dengan haihan chiken
pada Juli tahun 1871, serta merevisi perjanjian yang telah dibuat Tokugawa
dengan negara-negara lain. Kebijakan ini dikenal dengan bunmei kaika 3).
Setelah Jepang membuka diri berbagai
pengaruh Barat berdampak pada sistem perintahan di Jepang yakni masuknya sistem
pemerintahan yang demokratis. Diawali dengan sumpah jabatan kaisar atau gokajo no gozeimon pada tahun 1868.
Kebijakan pertama dalam gokajo no
gozeimon adalah ‘Dewan-dewan majelis akan dibentuk yang akan memutuskan segala urusan
dengan diskusi publik’. Kemudian pada bulan April 1868, instrumen pemerintahan
atau seitaisho diumumkan. ‘Seitaisho merupakan hukum formal
tertulis pertama yang menyediakan pembagian kekuasaan dan pemilihan umum sistem
pemerintahan’(Nishi, 1991:2)
‘Gerakan pertama menuju demokrasi atau
kebebasan bersuara muncul pada Januari 1874 ketika pembaharu liberal bernama
Itagaki Taisuke memperkenalkan petisi untuk kemantapan dari pemilihan majelis
secara demokratis dan membentuk partai politik Jepang yang pertama kali.’
(Kaichi 1977:12) Partai politik ini dikenal dengan sebutan Aikoku koto yang memiliki arti harafiah sebagai pembela masyarakat
umum.
Gerakan dari Itagaki memunculkan dua
kubu dalam pemerintahan ini menghasilkan konfrontasi antara fraksi Okuma
Shigenobu yang menganjurkan kestabilan awal dari parlemen dan partai
pemerintahan dengan model pemerintahan Inggris dan fraksi Ito Hirobumi dari
klan Chosu beserta Kuroda Kiyotaka dari klan Satsuma yang beranggapan bahwa
gerakan ini terlalu dini.
‘Konfontasi tersebut berakhir dengan
kemenangan dari fraksi Satsuma-Chosu dan fraksi Okuma memilih mundur.’ (Kaichi
1977:12). Bulan Oktober 1881 Kaisar mengeluarkan maklumat yang mendukung
perwujudan majelis nasional tahun 1880 dan konstitusi dirumuskan sesuai dengan
kehendak kaisar akan diberikan.
Kemudian Ito Hirobumi pergi ke Eropa
bertujuan mempersiapkan susunan konstitusi model Prussia4). Ito
Hirobumi menjadi tokoh sentral dalam peluncuran konstitusi Meiji serta
memantapkan majelis kekaisaran. Saat pemerintahan kabinet diperkenalkan pada
tahun 1885, Ito Hirobumi menjadi Perdana Menteri pertama Jepang serta
ditetapkan kaisar sebagai presiden utama dari dewan penasihat tertinggi kaisar.
2. Iitoko-dori
Dalam Model Pemerintahan Prussia
Alasan Jepang memilih mengadaptasi
sistem pemerintahan dari Eropa adalah karena saat itu Eropa memiliki berbagai
macam opsi dalam sistem pemerintahan. Eropa merupakan daratan yang terbagi
menjadi negara-negara kecil didalamnya. Setiap negara tersebut memiliki sistem
pemerintahan yang bermacam-macam yang dapat dipilih sebagai contoh (rolemodel). Setelah melakukan pengamatan
terhadap berbagai sistem pemerintahan di Barat, Jepang menjatuhkan pilihan
model sistem pemerintahan kepada sistem pemerintahan Prussia.
Sistem pemerintahan Prussia pada
awalnya dicetuskan oleh Kido Takayoshi yang merupakan salah satu partisipan
dalam misi Iwakura ke Amerika dan Eropa pada tahun 1872-1873. Kido berpendapat
bahwa sistem pemerintahan Prussia lebih sesuai dengan kondisi Jepang
dibandingkan dengan sistem pemerintahan Inggris, karena sistem pemerintahan
Prussian hampir sama dengan dogma yang diajarkan dalam klan Choshu tempat Kido
dibesarkan. ‘Kido beranggapan bahwa sistem perintahan Prussia sangat diperlukan
dalam menghadapi ketidakpuasan dari samurai yang baru saja dihapuskan dan untuk
mengubah para samurai menjadi pendukung pemerintahan daripada ikut serta dalam
pemberontakan’ (Totten, 1977:491).
Sistem pemerintahan Prussia
mengedepankan militerisme, liberalisme, serta nasionalisme. ‘Seorang pengamat
Raja Frederick yang Agung (Raja Prussia), Honore Gabriel Riqueti mengatakan
bahwa Prussia bukanlah kerajaan dengan pasukan militer, melainkan pasukan
militer dengan kerajaan, dan militer merupakan industri nasional
Prussia’(Herwig, 1998:68). Liberalisme dalam pemerintah Prussia terinspirasi
berdasarkan revolusi Perancis selain itu juga menginspirasi Prussia untuk
menciptakan identitas nasional yang baru.
Alasan sistem pemerintahan Prussia
dipilih dikarenakan ideologi dari kerajaan Prussia dan Jepang dapat dikatakan
memiliki banyak kesamaan. Prussia dan Jepang merupakan kerajaan yang sama-sama
menjunjung tinggi nasionalisme serta perlindungan negara dalam bentuk
militerisme. Kemudian Prussia juga menggunakan liberalisme dalam menjalankan
sistem pemerintahannya yang merupakan isu hangat pada awal terbentuknya Meiji.
Prussia juga menganggap pendidikan sangat penting bagi masyarakatnya teruatama
pendidikan dibidang militer. Jepang pada saat awal era Meiji juga memiliki
pemikiran bahwa Jepang dapat maju melalui pendidikan.
Prussia memiliki jembatan antara negara
dan rakyat dengan menciptakan alat yang dikenal dengan badan legislatif, Jepang
kemudian meniru dengan membentuk badan legislatif yang disebut shugi-in (house of representitaive). Prussia juga terkenal memiliki pasukan
militer yang kuat. Pasukan militer Prussia dibentuk untuk memelihara keamanan
rakyat serta bersumpah setia untuk raja semi-absolut. Legislatif dan militer
tidak saling ikut campur dalam urusan masing-masing, dan raja juga masih
memiliki kekuatan dalam berkeputusan. ‘Kontrol legislatif terhadap militer
diharamkan dalam pemerintahan Prussia’ (Herwig, 1998:68). Legislatif memiliki
kekuasaan dan tidak menentang kebijakan militer atau hal-hal yang bersangkutan
dengan keamanan nasional. Raja memiliki kekuatan untuk memerintah (kommandogewalt) dan keputusannya adalah
mutlak. Artinya Kekuasaan militer diberi kebebasan selama hal tersebut tidak
menyalahi tujuan utamanya yakni memelindungi kerajaan dan keluarga raja. Sebab
itulah sistem pemerintahan Prussia dianggap sangat cocok diterapkan di Jepang.
Sistem pemeritahan Prussia merupakan
sistem pemerintahan monarki konstitusional. Pada awal abad ke-19, kekuasaan
Raja William I dibagi dengan perdana menteri Kanselir Otto von Bismarck yang
kemudian ditiru Jepang dengan mengangkat Ito Hirobumi sebagai perdana menteri
Jepang pada tahun 1888. Prussia memperkuat diri dalam bidang militer, begitu
juga dengan Jepang.
Otto Von Bismark |
Meskipun sistem perintahan Prussia
terlihat sempurna namun tetap saja memiliki kelemahan. ‘Prussia berusaha
memperbaiki mekanisme perang yang sayangnya gagal dalam tingkat strategis’
(Herwig, 1998:72). Selain itu tidak adanya pengganti untuk perencanaan pada
tingkat strategis besar. Namun kelemahan ini disisihkan oleh Jepang dan hanya
mengambil nilai-nilai baik dalam sistem pemerintahan Prussia.
Simpulan:
Setelah era Edo digantikan dengan era
Meiji, Jepang mempertimbangkan berbagai macam sistem pemerintahan dari Barat
yang dianggap cocok dengan keadaan di Jepang saat itu. Kemudian pilihan Jepang
jatuh terhadap sistem pemerintahan Prussia.
Jepang mampu mengambil sisi positif
dari sistem pemerintahan Prussia. Antara lain mengambil sistem perintahan
dengan bentuk monarki konstitusional yakni kekuasaan raja dibagi dengan perdana
menteri, selain itu pembentukan dewan legislatif serta menfokuskan pembangunan
negara melalui pendidikan dan militer. Kemampuan Jepang dalam mengadaptasi
sistem pemerintahan Prussia tidak terlepas dari iitoko-dori yang merupakan
istilah di Jepang yang memiliki arti ‘mengadaptasi elemen dari luar negeri’.
Daftar
Pustaka:
Davies,
Roger J. and Osamu Ikeno. 2002. The Japanese Mind. United State of
America: Turtle
Endaswara,
Suwadi. 2006. Metode, Teori, Teknik
Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Widyatama
Herwig,
Holger H. 1998. The Prussian Model and
Military Planning Today. Joint Force Quarterly (JFQ) Journal, spring, hlm.
67-75
Koichi,
Kishimoto. 1977. Politic In Modern Japan.
Japan: Japan Echo Inc.
Nishi,
Osamu. 1991. The Gulf War and The
Constitution of Japan (work paper). World Jurist Associanton, 1-24
Totten,
George Oakley, III. 1977. The Adoption of
the Prussian Model for Municipal Government in Meiji Japan: Principles and
Compromise. The Developing Economies, 487-510
Referensi Gambar:
-http://www.wwnorton.com/ (Otto Von Bismark)
-http://www.rollintl.com/ (Prussia territory)
-http://askawesomeness.tumblr.com/ (Prussian Flag)
- http://www.tofugu.com/ (Ito Hirobumi)
Penjelasan:
1) :Bakuhan Taisei dapat diartikan sebagai
sistem pemerintahan feodal era Edo dibawah pemerintahan Tokugawa.
2) :Han
(藩)
memiliki arti klan feodal namun han dapat
diartikan sebagai daerah administratif yang kurang lebih setara dengan
profinsi.
3) :Bunmei
kaika adalah ‘civilization and enlightenment’ (Koichi, 1977:12)
4) :Prussia adalah salah satu kerajaan di
Eropa yang kini dikenal sebagai negara Jerman.
Wilayah Prusia 1860 |
P.S:
Kalau
KIKOSer butuh file-file softcopy dari daftar pustaka di atas Epik
punya kok, tinggal minta aja lewat e-mail nanti Epik kirim’in ^^ (kecuali yang
Davies, Endaswara, dan Koichi. Soalnya hardcopy
jadi ngga punya softcopy-nya)
Postingan
terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar