Minggu, 26 Januari 2014

Iitoko-dori Dalam Sistem Pemerintahan Jepang Era Meiji



Selamat Malam KIKOSer~
Epik mau bagi-bagi WINK (Waktunya Info KIKOS) nih… Info kali ini Epik ambil dari makalah matkul Bunkaron sekaligus pengembangan Epik dari postingan dari Iitoko-dori yang kemaren udah Epik bagi’in (untuk baca postingan mengenai Iitoko-dori, lihat diakhir postingan ini ^^). Dari pada lama, langsung baca ya~.



Latar Belakang:
Jepang merupakan salah satu negara yang mampu beradaptasi dari pengaruh negara-negara Barat dengan baik mengingat pada era Edo Jepang pernah melakukan politik sakoku atau menutup diri dari luar negeri. Meski ketika melakukan politik sakoku teknologi dan perkembangan Jepang tertinggal sekurang-kurangnya dua abad dibanding dengan negara-negara Barat, dalam kenyataannya Jepang dapat mengejar ketertinggalannya tersebut. Perkembangan teknologi dan ekonomi Jepang melesat cepat bahkan dapat dikatakan mampu melebihi rata-rata negara di Eropa saat ini. Kemampuan Jepang dalam mengadaptasi budaya-budaya serta pemikiran-pemikiran baru dari Barat telah membuat Jepang menjadi lebih kuat tanpa melupakan tradisi. Hal tersebut berkaitan erat dengan nilai budaya Jepang yang disebut Iitoko-dori.

Iitoko-dori merupakan istilah di Jepang yang memiliki arti "mengadaptasi elemen dari luar negeri” (Davies dan Ikeno, 2002:217). Jepang mampu menanfaatkan nilai-nilai positif budaya dari luar yang masuk, kemudian digunakan sebagai jalan untuk membangun negaranya menjadi lebih baik. Tidak terkecuali di bidang politik dan sistem pemerintahan.

Sistem pemerintahan Jepang saat ini bersifat monarki konstitusional artinya negara dipimpin seorang raja atau kaisar yang berbagi tanggung jawab dengan perdana menteri dalam menjalankan pemerintahan. Dapat dikatakan bahwa raja atau kaisar hanya menjadi pemimpin simbolis dalam pemerintahan karena roda pemerintahan sesungguhnya dijalankan oleh perdana menteri dan staf-staf kenegaraan.

Sebelum revolusi Meiji, Jepang tidak menggunakan sistem pemerintahan monarki konstitusional. Sejak era Kamakura (1192-1333) hingga era Edo (1603-1867), Jepang menggunakan sistem pemerintahan keshogunan yakni pemerintahan negara dijalankan oleh seorang shogun. Tugas dari shogun sesungguhnya menangani segala hal yang berhubungan dengan bidang militer dan keamanan rakyat Jepang terhadap serangan luar maupun dalam negeri. Namun seiring berjalannya waktu, shogun semakin mendominasi pemerintahan negara, bahkan kaisar seolah tidak memiliki andil dalam menjalankan pemerintahan sama sekali. Hingga pada akhir era Edo, sistem pemerintahan yang dijalankan shogun lengser ditandai dengan revolusi Meiji serta kemudian kekuasaan dikembalikan kepada kaisar.

Setelah revolusi Meiji, Jepang mengambil keputusan untuk membuka kerjasama dengan negara-negara luar. Jepang menjadi negara yang mau belajar dari negara Barat dan mengejar ketertinggalannya selama menutup diri.

Permasalahan:
Iitoko dori merupakan salah satu nilai budaya yang berperan dalam kebangkitan Jepang terutama dalam sistem pemerintahan era Meiji. Jepang saat itu berusaha untuk membuka diri dan menyerap sebanyak-banyaknya informasi dari Barat. Hal ini sangat menarik untuk diangkat menjadi sebuah makalah.

Tujuan:
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui keberadaan nilai budaya Jepang, iitoko-dori, dalam sistem perintahan era Meiji.

Metode Penelitian:
Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah metode desktiptif kualitatif yang data-datanya bersumber dari studi pustaka. Bogdan dan Taylor (1975:5) dalam Suwardi Endraswara (2006: 85) ‘kajian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati’. Kemudian, mengingat keterbatasan narasumber yang mengerti mengenai politik dan sistem pemerintahan Jepang membuat peneliatan makalah ini menggunakan metode studi pustaka.

1. Sistem Pemerintahan Era Edo menuju Era Meiji
Pada era Edo, pemerintahan Jepang berada dibawah kekuasaan shogun. Shogun menggunakan sistem pemerintahan bernama bakuhan taisei 1) (幕藩体制). Sistem pemerintahan ini berpusat pada shogun dan dengan kekuasaannya shogun membagi wilayah-wilayah di Jepang menjadi beberapa han 2) yang dikuasai daimyo (tuan tanah). Para daimyo pada umumnya merupakan keturunan dari klan-klan yang berperan dalan keshogunan dan berkuasa pada han dengan kebijakan oligarki. Kebijakan oligarki ini dianggap hanya menguntungkan para daimyo dan merugikan bagi rakyat terutama kaum petani dan samurai. Setelah terjadi berbagai pemberontakan dalam negeri, pemerintahan era Edo menyerah dan digantikan era Meiji yang dipimpin kaisar.

Pergantian era Edo menjadi era Meiji ditandai dengan dikembalikannya kekuasaan pemerintahan feodal yang dipegang oleh Tokugawa Yoshinobu kepada kaisar. Pengembalian kekuasaan ini mencakup poin pengembalian tanah para daimyo kepada kaisar yang disebut hanseki hokan, pembentukan han menjadi prefektur yang dikenal dengan haihan chiken pada Juli tahun 1871, serta merevisi perjanjian yang telah dibuat Tokugawa dengan negara-negara lain. Kebijakan ini dikenal dengan bunmei kaika 3).

Setelah Jepang membuka diri berbagai pengaruh Barat berdampak pada sistem perintahan di Jepang yakni masuknya sistem pemerintahan yang demokratis. Diawali dengan sumpah jabatan kaisar atau gokajo no gozeimon pada tahun 1868. Kebijakan pertama dalam gokajo no gozeimon adalah ‘Dewan-dewan majelis akan dibentuk yang akan memutuskan segala urusan dengan diskusi publik’. Kemudian pada bulan April 1868, instrumen pemerintahan atau seitaisho diumumkan. ‘Seitaisho merupakan hukum formal tertulis pertama yang menyediakan pembagian kekuasaan dan pemilihan umum sistem pemerintahan’(Nishi, 1991:2)

‘Gerakan pertama menuju demokrasi atau kebebasan bersuara muncul pada Januari 1874 ketika pembaharu liberal bernama Itagaki Taisuke memperkenalkan petisi untuk kemantapan dari pemilihan majelis secara demokratis dan membentuk partai politik Jepang yang pertama kali.’ (Kaichi 1977:12) Partai politik ini dikenal dengan sebutan Aikoku koto yang memiliki arti harafiah sebagai pembela masyarakat umum.

Gerakan dari Itagaki memunculkan dua kubu dalam pemerintahan ini menghasilkan konfrontasi antara fraksi Okuma Shigenobu yang menganjurkan kestabilan awal dari parlemen dan partai pemerintahan dengan model pemerintahan Inggris dan fraksi Ito Hirobumi dari klan Chosu beserta Kuroda Kiyotaka dari klan Satsuma yang beranggapan bahwa gerakan ini terlalu dini.
 
Ito Hirobumi
‘Konfontasi tersebut berakhir dengan kemenangan dari fraksi Satsuma-Chosu dan fraksi Okuma memilih mundur.’ (Kaichi 1977:12). Bulan Oktober 1881 Kaisar mengeluarkan maklumat yang mendukung perwujudan majelis nasional tahun 1880 dan konstitusi dirumuskan sesuai dengan kehendak kaisar akan diberikan.

Kemudian Ito Hirobumi pergi ke Eropa bertujuan mempersiapkan susunan konstitusi model Prussia4). Ito Hirobumi menjadi tokoh sentral dalam peluncuran konstitusi Meiji serta memantapkan majelis kekaisaran. Saat pemerintahan kabinet diperkenalkan pada tahun 1885, Ito Hirobumi menjadi Perdana Menteri pertama Jepang serta ditetapkan kaisar sebagai presiden utama dari dewan penasihat tertinggi kaisar.


2. Iitoko-dori Dalam Model Pemerintahan Prussia

Alasan Jepang memilih mengadaptasi sistem pemerintahan dari Eropa adalah karena saat itu Eropa memiliki berbagai macam opsi dalam sistem pemerintahan. Eropa merupakan daratan yang terbagi menjadi negara-negara kecil didalamnya. Setiap negara tersebut memiliki sistem pemerintahan yang bermacam-macam yang dapat dipilih sebagai contoh (rolemodel). Setelah melakukan pengamatan terhadap berbagai sistem pemerintahan di Barat, Jepang menjatuhkan pilihan model sistem pemerintahan kepada sistem pemerintahan Prussia.

Sistem pemerintahan Prussia pada awalnya dicetuskan oleh Kido Takayoshi yang merupakan salah satu partisipan dalam misi Iwakura ke Amerika dan Eropa pada tahun 1872-1873. Kido berpendapat bahwa sistem pemerintahan Prussia lebih sesuai dengan kondisi Jepang dibandingkan dengan sistem pemerintahan Inggris, karena sistem pemerintahan Prussian hampir sama dengan dogma yang diajarkan dalam klan Choshu tempat Kido dibesarkan. ‘Kido beranggapan bahwa sistem perintahan Prussia sangat diperlukan dalam menghadapi ketidakpuasan dari samurai yang baru saja dihapuskan dan untuk mengubah para samurai menjadi pendukung pemerintahan daripada ikut serta dalam pemberontakan’ (Totten, 1977:491).
 
Bendera kerajaan Prusia
Sistem pemerintahan Prussia mengedepankan militerisme, liberalisme, serta nasionalisme. ‘Seorang pengamat Raja Frederick yang Agung (Raja Prussia), Honore Gabriel Riqueti mengatakan bahwa Prussia bukanlah kerajaan dengan pasukan militer, melainkan pasukan militer dengan kerajaan, dan militer merupakan industri nasional Prussia’(Herwig, 1998:68). Liberalisme dalam pemerintah Prussia terinspirasi berdasarkan revolusi Perancis selain itu juga menginspirasi Prussia untuk menciptakan identitas nasional yang baru.

Alasan sistem pemerintahan Prussia dipilih dikarenakan ideologi dari kerajaan Prussia dan Jepang dapat dikatakan memiliki banyak kesamaan. Prussia dan Jepang merupakan kerajaan yang sama-sama menjunjung tinggi nasionalisme serta perlindungan negara dalam bentuk militerisme. Kemudian Prussia juga menggunakan liberalisme dalam menjalankan sistem pemerintahannya yang merupakan isu hangat pada awal terbentuknya Meiji. Prussia juga menganggap pendidikan sangat penting bagi masyarakatnya teruatama pendidikan dibidang militer. Jepang pada saat awal era Meiji juga memiliki pemikiran bahwa Jepang dapat maju melalui pendidikan.

Prussia memiliki jembatan antara negara dan rakyat dengan menciptakan alat yang dikenal dengan badan legislatif, Jepang kemudian meniru dengan membentuk badan legislatif yang disebut shugi-in (house of representitaive). Prussia juga terkenal memiliki pasukan militer yang kuat. Pasukan militer Prussia dibentuk untuk memelihara keamanan rakyat serta bersumpah setia untuk raja semi-absolut. Legislatif dan militer tidak saling ikut campur dalam urusan masing-masing, dan raja juga masih memiliki kekuatan dalam berkeputusan. ‘Kontrol legislatif terhadap militer diharamkan dalam pemerintahan Prussia’ (Herwig, 1998:68). Legislatif memiliki kekuasaan dan tidak menentang kebijakan militer atau hal-hal yang bersangkutan dengan keamanan nasional. Raja memiliki kekuatan untuk memerintah (kommandogewalt) dan keputusannya adalah mutlak. Artinya Kekuasaan militer diberi kebebasan selama hal tersebut tidak menyalahi tujuan utamanya yakni memelindungi kerajaan dan keluarga raja. Sebab itulah sistem pemerintahan Prussia dianggap sangat cocok diterapkan di Jepang.

Sistem pemeritahan Prussia merupakan sistem pemerintahan monarki konstitusional. Pada awal abad ke-19, kekuasaan Raja William I dibagi dengan perdana menteri Kanselir Otto von Bismarck yang kemudian ditiru Jepang dengan mengangkat Ito Hirobumi sebagai perdana menteri Jepang pada tahun 1888. Prussia memperkuat diri dalam bidang militer, begitu juga dengan Jepang.

Otto Von Bismark
Meskipun sistem perintahan Prussia terlihat sempurna namun tetap saja memiliki kelemahan. ‘Prussia berusaha memperbaiki mekanisme perang yang sayangnya gagal dalam tingkat strategis’ (Herwig, 1998:72). Selain itu tidak adanya pengganti untuk perencanaan pada tingkat strategis besar. Namun kelemahan ini disisihkan oleh Jepang dan hanya mengambil nilai-nilai baik dalam sistem pemerintahan Prussia.



Simpulan:
Setelah era Edo digantikan dengan era Meiji, Jepang mempertimbangkan berbagai macam sistem pemerintahan dari Barat yang dianggap cocok dengan keadaan di Jepang saat itu. Kemudian pilihan Jepang jatuh terhadap sistem pemerintahan Prussia.

Jepang mampu mengambil sisi positif dari sistem pemerintahan Prussia. Antara lain mengambil sistem perintahan dengan bentuk monarki konstitusional yakni kekuasaan raja dibagi dengan perdana menteri, selain itu pembentukan dewan legislatif serta menfokuskan pembangunan negara melalui pendidikan dan militer. Kemampuan Jepang dalam mengadaptasi sistem pemerintahan Prussia tidak terlepas dari iitoko-dori yang merupakan istilah di Jepang yang memiliki arti ‘mengadaptasi elemen dari luar negeri’.




Daftar Pustaka:

Davies, Roger J. and Osamu Ikeno. 2002.  The Japanese Mind. United State of America: Turtle
Endaswara, Suwadi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Herwig, Holger H. 1998. The Prussian Model and Military Planning Today. Joint Force Quarterly (JFQ) Journal, spring, hlm. 67-75
Koichi, Kishimoto. 1977. Politic In Modern Japan. Japan: Japan Echo Inc.
Nishi, Osamu. 1991. The Gulf War and The Constitution of Japan (work paper). World Jurist Associanton, 1-24
Totten, George Oakley, III. 1977. The Adoption of the Prussian Model for Municipal Government in Meiji Japan: Principles and Compromise. The Developing Economies, 487-510

Referensi Gambar:
-http://www.wwnorton.com/ (Otto Von Bismark)
-http://www.rollintl.com/ (Prussia territory)
-http://askawesomeness.tumblr.com/ (Prussian Flag)
- http://www.tofugu.com/ (Ito Hirobumi)

Penjelasan:
1)     :Bakuhan Taisei dapat diartikan sebagai sistem pemerintahan feodal era Edo dibawah pemerintahan Tokugawa.
2)   :Han () memiliki arti klan feodal namun han dapat diartikan sebagai daerah administratif yang kurang lebih setara dengan profinsi.
3)     :Bunmei kaika adalah ‘civilization and enlightenment’ (Koichi, 1977:12)
4)    :Prussia adalah salah satu kerajaan di Eropa yang kini dikenal sebagai negara Jerman.
Wilayah Prusia 1860


P.S:
Kalau KIKOSer butuh file-file softcopy dari daftar pustaka di atas Epik punya kok, tinggal minta aja lewat e-mail nanti Epik kirim’in ^^ (kecuali yang Davies, Endaswara, dan Koichi. Soalnya hardcopy jadi ngga punya softcopy-nya)

Postingan terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar