Yak... udah lama banget ngga posting cerpen,
Epik kali mem-posting cerpen berjudul "Ibuku TKI" dan jika ada nama dan tempat
yang mirip sesungguhnya itu hanya kebetulan belaka...Sebenernya Epik bikin cerpen ini untuk ikut lomba cerpen dengan tema TKI... Tapi belum sempat dikirim eh tenggat waktu pengumpulannya habis... Yah semoga KIKOSer bisa menikmati cerpen ini ya~ langsung aja~
(Jika ingin
meng-copy cerpen ini dengan alasan dan tujuan apa pun mohon meninggalkan comment untuk ijin. Meng-copy untuk tujuaan komersil sangat dilarang dan tidak diijinkan!!!)
Sumber Gambar: www.inimaumere.com |
-Ibuku TKI-
"pak,
ibu kemana sih? Kok tidak pernah ada buat kita sih? Ibu tidak sayang kita ya
pak?"
"hus...
tidak boleh bilang begitu... Ibumu itu kerja ke Hongkong untuk kita nduk..."
Kata-kata
bapak terus terngiang diingatanku. Ya... Ibu pergi ke Hongkong untuk mencari
uang demi kami, itulah kata bapak. Aku terlalu kecil untuk mengingat sosok
ibuku ketika beliau pergi menjadi TKI atau Tenaga Kerja Indonesia. Malah bisa
dikatakan aku hampir-hampir tidak ingat raut wajahnya, yang aku ingat hanya aku
menangis tersedu di pelukan bapak sambil memandangi punggung ibuku yang
berjalan meninggalkan kami menuju Jakarta untuk mengikuti pelatihan TKI.
Saat ini
aku sudah menginjak tahun pertama di bangku Sekolah Menengah Pertama yang itu
berarti juga sudah delapan tahun lebih ibu pergi meninggalkan ku bersama bapakku. Dalam kurun waktu selama itu, ibuku tak pernah sekalipun menjengukku di
sini. Kadang aku berpikir bahwa ibuku memang tidak menyayangi bapak dan aku.
Aku rasa hidupku dan bapak biasa saja tanpa ibu karena bapak memang sudah
terbiasa hidup dengan menjalankan dua peran yaitu sebagai bapak sekaligus
sebagai ibu sejak aku kecil. Aku rasa hidupku lebih baik tanpa ibuku. Walau
terkadang aku juga iri pada teman-temanku yang bisa bermanja-manja pada ibu mereka
masing-masing.
"Pak,
saya berangkat sekolah ya" kataku sambil mencium tangan bapak yang duduk
di atas motor.
"iya
nduk, sekolah yang pintar ya"
jawab bapak.
Aku
melangkah masuk ke sekolah. Aku senang karena sekarang telah menjadi murid SMP
dengan seragam putih biru yang baru ku beli bersama bapak sebulan yang lalu.
Ah... lagi-lagi aku melewati peristiwa penting seperti peristiwa aku menjadi
murid SMP tanpa ibu disisiku.
Aku masuk
ke kelasku. Teman sekelasku rata-rata adalah teman-temanku di sekolah dasar
dulu, bahkan Nia juga. Nia adalah teman sekelasku ketika masih sekolah dasar.
Aku tidak suka dengannya karena dia sering mengejekku. Mengataiku sebagai anak
pembantu. Itu semua karena aku anak seorang TKI yang tidak lain adalah pembantu
di negeri orang. Bapak mengatakan untuk sabar dan tidak mempedulikan kata-kata
Nia. Tapi sungguh berat untuk pura-pura tidak mendengarkan apa yang Nia
katakan.
"eh
tahu tidak? Kata tanteku,TKI itu kalau kerja di negeri sebrang pasti punya
keluarga lagi di sana!" Kata Nia yang sengaja mengeraskan suaranya ketika
mengobrol dengan temannya karena tahu bahwa aku duduk di seberang mejanya.
Kupingku sungguh panas mendengar kata-kata yang seolah ia tujukan padaku.
"Terus
biasanya kalau sudah punya keluarga baru, para TKI itu tidak mau bertemu
keluarganya yang ada di Indonesia"
Aku sudah
tidak tahan dengan kata-kata Nia. Hatiku sudah sangat sakit mendengar
kata-katanya. Aku pun berteriak di hadapannya.
"TIDAK!
Ibuku tidak seperti itu!" Aku merasakan air mataku mulai berjatuhan. Aku tahu
semua mata memandang ke arahku tapi aku tidak peduli.
"kamu
bisa jamin ibu mu tidak seperti itu? Hal seperti itu, kata tanteku sih hal yang
sudah umum dan lumrah di kalangan TKI!" jawab Nia dengan ketus.
Aku sudah
tidak kuat lagi mendengar kata-kata Nia. Aku hanya bisa menangis tersedu sambil
berlari ke kamar mandi. Aku terus menangis tanpa mempedulikan sekelilingku. Aku
marah terhadap Nia. Tapi entah mengapa, tiba-tiba aku merasa sangat membenci
ibu. Mengapa ibu harus bekerja ke Hongkong? Mengapa ibu meninggalkan aku dan
bapak? Ini semua gara-gara ibu! aku benci ibu! Aku benci ibu! Jeritku dalam
hati. Mungkin kata-kata Nia ada benarnya. Jangan-jangan ibu memang punya
keluarga baru karena itu enggan menengok bapak dan aku.
Aku
pulang ke rumah dengan gontai. Bapak menyambutku di depan rumah sambil mencuci
sepeda motor. Aku hanya bisa memberi salam dan menunjukan senyum kecut. Bapak
bertanya bagaimana sekolahku hari ini. Aku hanya menjawab biasa saja. Aku
berdiri di samping bapak dan berkata.
"pak,
kenapa ibu harus jadi TKI?"
"ya...
Ibu dan bapakmu ini hanya lulusan SD dan kami bercita-cita menyekolahkanmu
hingga perguruan tinggi. Sekolah butuh biaya nduk, karena itu ibumu memilih menjadi TKI agar kita semua bisa
hidup lebih mapan"
"tapi
pak, aku malu diolok-olok teman-temanku. Aku dibilang anak pembantu."
"huss...
Jangan bilang begitu! Ibumu bekerja juga demi siapa? Demi kamu juga nduk! Jadi kamu tidak boleh bilang
begitu!"
"bapak
ini selalu membela ibu! Ibu itu tidak sayang kita pak! Kalau ibu memang sayang,
kenapa selama hampir delapan tahun ini ibu tidak pernah menunjungi kita? Aku
kecewa pak!" kataku sambil berlari ke kamar. Aku mendengar bapak
memanggil-manggil namaku. Tapi tidakku gubris sama sekali. Aku hanya menangis
di kamar.
***
Hari ini
aku pulang sekolah dengan berjalan kaki seperti biasa. Ketika sampai di depan
rumah, aku terkejut melihat halaman rumahku ramai dengan orang. Para tetanggaku
berkumpul di rumahku. Apa yang sedang terjadi, pikirku. Aku masuk ke dalam
rumah dan menjumpai bapak sedang menangis di samping pak RT.
"lho
pak? Ada apa ini?"
"Yang
sabar ya nduk..." kata bapak
sambil meraihku untuk dipeluknya.
"ada
apa pak?" tanyaku semakin bingung.
"ibumu...
Ibumu meninggal nduk" kata bapak
sambil sesenggukan.
Aku tidak
bisa berkata apa-apa. Ketika mendengar bahwa ibu sudah meninggal, aku sama
sekali tidak menangis. Jujur aku sedih ibuku meninggal tapi entah mengapa air
mataku tidak mengalir setetes pun. Aku berpikir bahwa selama ini ibu memang
tidak ada di sisiku. Kematian ibu aku rasa tidak terlalu berpengaruh bagi
hidupku. Entah ini rasa ikhlas atau rasa tidak peduli, aku bingung
menentukannya. Aku duduk disamping bapak dan memeluknya. Bapak berkata lima
hari lagi jenazah ibuku akan tiba di Indonesia. Aku hanya mengangguk.
Banyak
berita mengenai bagaimana ibu meninggal. Aku mendengar kata orang bahwa ibuku
meninggal disiksa majikannya. Ada juga yang bilang meninggal kecelakaan. Malah
ada yang bilang bahwa ibuku meninggal bunuh diri. Aku tidak tahu mana yang
benar. Aku hanya bisa menunggu jenazah ibu untuk pulang.
Lima hari
kemudian jenazah ibuku tiba dalam peti dan kata orang-orang yang mengantar
jenazahnya, peti tersebut dilarang untuk dibuka. Dalam hati aku merenung
menatap peti mati ibu. Bagaimana pun ketika melihat peti jenazah ibu, ulu
hatiku terasa ngilu. Mengapa ibu begitu tega, batinku, sekian lama tak berjumpa
dan akhirnya malah berjumpa dalam keadaan seperti ini.
"bapak,
ini adalah barang-barang peninggalan almarhumah istri bapak yang masih tersisa.
Mohon diterima ya pak" kata salah seorang
pengantar jenazah ibuku.
"iya
pak... Terima kasih..." jawab ayahku dengan mata sembab. Kemudian bapak
melihat barang-barang yang ditinggalkan ibu. Ada setumpuk surat yang tidak
pernah sempat ia kirim, buku tabungan, serta barang-barang lain semacam pakaian
dan celana milik ibu. Bapak memeriksa surat-surat tersebut dan berkata padaku
bahwa surat-surat tersebut ditujukan untukku. Tentu aku terkejut. Kemudian aku
mengambil beberapa surat dan mulai membacanya. Di dalam sebuah surat tertulis:
"Assallamualaikum,
semoga kabar anakku yang ku sayang sehat selalu... amin... sudah tidak terasa
hampir tiga tahun ibu pergi meninggalkanmu. Apa kamu baik-baik saja? Disini ibu
sangat rindu dengan bapak apalagi denganmu. Sayang, ibu masih belum bisa
pulang. Ibu masih banyak pekerjaan. Tapi tenang nduk ibu tidak akan melupakanmu.
Namamu selalu ibu sebut dalam setiap doa ibu. Salam sayang ibu"
Aku mulai
menitikan air mata, tak kuat menahan haru. Ternyata ibu masih ingat padaku. Aku
melanjutkan membaca surat lain.
"Assallamualaikum...
hari ini anak majikan ibu berulang tahun yang ke-5. Tiba-tiba ibu teringat pada
kamu, nduk... Saat ini pasti kamu
sudah berusia sepuluh tahun. Sudah besar ya ternyata. kalau diingat kembali,
maaf ya nduk, ibu tidak pernah
merayakan ulang tahunmu. Kalau pulang nanti, ibu ingin membuatkan kamu pesta
ulang tahun. Tunggu ibu pulang ya nduk...
Dari ibu"
"Assallamualaikum,
apa kabarmu dan bapak? Ibu ingat bulan ini adalah bulan Juni. Bukankah
seharusnya kamu sedang ujian kenaikan kelas? Belajar yang rajin ya... Jangan
jadi seperti ibu yang hanya lulusan SD dan jadi pembantu di negeri orang.
Belajar yang pintar ya nduk... salam
sayang ibu"
Aku
kembali meneteskan air mata dengan derasnya. Aku merasa berdosa pada ibuku.
Seharusnya aku percaya pada ibuku. Bahwa ibuku sayang padaku. Seharusnya aku
tidak malu walaupun ibuku seorang TKI. Mengapa aku terlalu berprasangka buruk
pada ibuku sendiri. Ibu maafkan aku. Aku hanya bisa berlari lalu memeluk peti
mati ibu. Aku menangis dan meminta maaf di atas petinya. Memohon ampun atas
segala prasangkaku terhadapnya. Ibu maafkan aku... Kini baru aku sadari bahwa
ibuku menjadi TKI agar aku bisa hidup lebih baik. Ini adalah pengorbanan ibuku
yang hanya seorang TKI. Terima kasih bu... Aku akan selalu menyayangimu
-Selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar