Rabu, 19 Juni 2013

Cerpen: Ibuku TKI



Yak... udah lama banget ngga posting cerpen, Epik kali mem-posting cerpen  berjudul "Ibuku TKI" dan jika ada nama dan tempat yang mirip sesungguhnya itu hanya kebetulan belaka...Sebenernya Epik bikin cerpen ini untuk ikut lomba cerpen dengan tema TKI... Tapi belum sempat dikirim eh tenggat waktu pengumpulannya habis... Yah semoga KIKOSer bisa menikmati cerpen ini ya~ langsung aja~
(Jika ingin meng-copy cerpen ini dengan alasan dan tujuan apa pun mohon meninggalkan comment untuk ijin. Meng-copy untuk tujuaan komersil sangat dilarang dan tidak diijinkan!!!)


Sumber Gambar: www.inimaumere.com

-Ibuku TKI-

"pak, ibu kemana sih? Kok tidak pernah ada buat kita sih? Ibu tidak sayang kita ya pak?"
"hus... tidak boleh bilang begitu... Ibumu itu kerja ke Hongkong untuk kita nduk..."

Kata-kata bapak terus terngiang diingatanku. Ya... Ibu pergi ke Hongkong untuk mencari uang demi kami, itulah kata bapak. Aku terlalu kecil untuk mengingat sosok ibuku ketika beliau pergi menjadi TKI atau Tenaga Kerja Indonesia. Malah bisa dikatakan aku hampir-hampir tidak ingat raut wajahnya, yang aku ingat hanya aku menangis tersedu di pelukan bapak sambil memandangi punggung ibuku yang berjalan meninggalkan kami menuju Jakarta untuk mengikuti pelatihan TKI.

Saat ini aku sudah menginjak tahun pertama di bangku Sekolah Menengah Pertama yang itu berarti juga sudah delapan tahun lebih ibu pergi meninggalkan ku bersama bapakku. Dalam kurun waktu selama itu, ibuku tak pernah sekalipun menjengukku di sini. Kadang aku berpikir bahwa ibuku memang tidak menyayangi bapak dan aku. Aku rasa hidupku dan bapak biasa saja tanpa ibu karena bapak memang sudah terbiasa hidup dengan menjalankan dua peran yaitu sebagai bapak sekaligus sebagai ibu sejak aku kecil. Aku rasa hidupku lebih baik tanpa ibuku. Walau terkadang aku juga iri pada teman-temanku yang bisa bermanja-manja pada ibu mereka masing-masing.

"Pak, saya berangkat sekolah ya" kataku sambil mencium tangan bapak yang duduk di atas motor.
"iya nduk, sekolah yang pintar ya" jawab bapak.
Aku melangkah masuk ke sekolah. Aku senang karena sekarang telah menjadi murid SMP dengan seragam putih biru yang baru ku beli bersama bapak sebulan yang lalu. Ah... lagi-lagi aku melewati peristiwa penting seperti peristiwa aku menjadi murid SMP tanpa ibu disisiku.

Aku masuk ke kelasku. Teman sekelasku rata-rata adalah teman-temanku di sekolah dasar dulu, bahkan Nia juga. Nia adalah teman sekelasku ketika masih sekolah dasar. Aku tidak suka dengannya karena dia sering mengejekku. Mengataiku sebagai anak pembantu. Itu semua karena aku anak seorang TKI yang tidak lain adalah pembantu di negeri orang. Bapak mengatakan untuk sabar dan tidak mempedulikan kata-kata Nia. Tapi sungguh berat untuk pura-pura tidak mendengarkan apa yang Nia katakan.

"eh tahu tidak? Kata tanteku,TKI itu kalau kerja di negeri sebrang pasti punya keluarga lagi di sana!" Kata Nia yang sengaja mengeraskan suaranya ketika mengobrol dengan temannya karena tahu bahwa aku duduk di seberang mejanya. Kupingku sungguh panas mendengar kata-kata yang seolah ia tujukan padaku.
"Terus biasanya kalau sudah punya keluarga baru, para TKI itu tidak mau bertemu keluarganya yang ada di Indonesia"
Aku sudah tidak tahan dengan kata-kata Nia. Hatiku sudah sangat sakit mendengar kata-katanya. Aku pun berteriak di hadapannya.
"TIDAK! Ibuku tidak seperti itu!" Aku merasakan air mataku mulai berjatuhan. Aku tahu semua mata memandang ke arahku tapi aku tidak peduli.
"kamu bisa jamin ibu mu tidak seperti itu? Hal seperti itu, kata tanteku sih hal yang sudah umum dan lumrah di kalangan TKI!" jawab Nia dengan ketus.
Aku sudah tidak kuat lagi mendengar kata-kata Nia. Aku hanya bisa menangis tersedu sambil berlari ke kamar mandi. Aku terus menangis tanpa mempedulikan sekelilingku. Aku marah terhadap Nia. Tapi entah mengapa, tiba-tiba aku merasa sangat membenci ibu. Mengapa ibu harus bekerja ke Hongkong? Mengapa ibu meninggalkan aku dan bapak? Ini semua gara-gara ibu! aku benci ibu! Aku benci ibu! Jeritku dalam hati. Mungkin kata-kata Nia ada benarnya. Jangan-jangan ibu memang punya keluarga baru karena itu enggan menengok bapak dan aku.

Aku pulang ke rumah dengan gontai. Bapak menyambutku di depan rumah sambil mencuci sepeda motor. Aku hanya bisa memberi salam dan menunjukan senyum kecut. Bapak bertanya bagaimana sekolahku hari ini. Aku hanya menjawab biasa saja. Aku berdiri di samping bapak dan berkata.
"pak, kenapa ibu harus jadi TKI?"
"ya... Ibu dan bapakmu ini hanya lulusan SD dan kami bercita-cita menyekolahkanmu hingga perguruan tinggi. Sekolah butuh biaya nduk, karena itu ibumu memilih menjadi TKI agar kita semua bisa hidup lebih mapan"
"tapi pak, aku malu diolok-olok teman-temanku. Aku dibilang anak pembantu."
"huss... Jangan bilang begitu! Ibumu bekerja juga demi siapa? Demi kamu juga nduk! Jadi kamu tidak boleh bilang begitu!"
"bapak ini selalu membela ibu! Ibu itu tidak sayang kita pak! Kalau ibu memang sayang, kenapa selama hampir delapan tahun ini ibu tidak pernah menunjungi kita? Aku kecewa pak!" kataku sambil berlari ke kamar. Aku mendengar bapak memanggil-manggil namaku. Tapi tidakku gubris sama sekali. Aku hanya menangis di kamar.

***

Hari ini aku pulang sekolah dengan berjalan kaki seperti biasa. Ketika sampai di depan rumah, aku terkejut melihat halaman rumahku ramai dengan orang. Para tetanggaku berkumpul di rumahku. Apa yang sedang terjadi, pikirku. Aku masuk ke dalam rumah dan menjumpai bapak sedang menangis di samping pak RT.
"lho pak? Ada apa ini?"
"Yang sabar ya nduk..." kata bapak sambil meraihku untuk dipeluknya.
"ada apa pak?" tanyaku semakin bingung.
"ibumu... Ibumu meninggal nduk" kata bapak sambil sesenggukan.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Ketika mendengar bahwa ibu sudah meninggal, aku sama sekali tidak menangis. Jujur aku sedih ibuku meninggal tapi entah mengapa air mataku tidak mengalir setetes pun. Aku berpikir bahwa selama ini ibu memang tidak ada di sisiku. Kematian ibu aku rasa tidak terlalu berpengaruh bagi hidupku. Entah ini rasa ikhlas atau rasa tidak peduli, aku bingung menentukannya. Aku duduk disamping bapak dan memeluknya. Bapak berkata lima hari lagi jenazah ibuku akan tiba di Indonesia. Aku hanya mengangguk.

Banyak berita mengenai bagaimana ibu meninggal. Aku mendengar kata orang bahwa ibuku meninggal disiksa majikannya. Ada juga yang bilang meninggal kecelakaan. Malah ada yang bilang bahwa ibuku meninggal bunuh diri. Aku tidak tahu mana yang benar. Aku hanya bisa menunggu jenazah ibu untuk pulang.

Lima hari kemudian jenazah ibuku tiba dalam peti dan kata orang-orang yang mengantar jenazahnya, peti tersebut dilarang untuk dibuka. Dalam hati aku merenung menatap peti mati ibu. Bagaimana pun ketika melihat peti jenazah ibu, ulu hatiku terasa ngilu. Mengapa ibu begitu tega, batinku, sekian lama tak berjumpa dan akhirnya malah berjumpa dalam keadaan seperti ini.
"bapak, ini adalah barang-barang peninggalan almarhumah istri bapak yang masih tersisa. Mohon diterima ya pak" kata salah seorang  pengantar jenazah ibuku.
"iya pak... Terima kasih..." jawab ayahku dengan mata sembab. Kemudian bapak melihat barang-barang yang ditinggalkan ibu. Ada setumpuk surat yang tidak pernah sempat ia kirim, buku tabungan, serta barang-barang lain semacam pakaian dan celana milik ibu. Bapak memeriksa surat-surat tersebut dan berkata padaku bahwa surat-surat tersebut ditujukan untukku. Tentu aku terkejut. Kemudian aku mengambil beberapa surat dan mulai membacanya. Di dalam sebuah surat tertulis:


"Assallamualaikum, semoga kabar anakku yang ku sayang sehat selalu... amin... sudah tidak terasa hampir tiga tahun ibu pergi meninggalkanmu. Apa kamu baik-baik saja? Disini ibu sangat rindu dengan bapak apalagi denganmu. Sayang, ibu masih belum bisa pulang. Ibu masih banyak pekerjaan. Tapi tenang nduk ibu tidak akan melupakanmu. Namamu selalu ibu sebut dalam setiap doa ibu. Salam sayang ibu"



Aku mulai menitikan air mata, tak kuat menahan haru. Ternyata ibu masih ingat padaku. Aku melanjutkan membaca surat lain.



"Assallamualaikum... hari ini anak majikan ibu berulang tahun yang ke-5. Tiba-tiba ibu teringat pada kamu, nduk... Saat ini pasti kamu sudah berusia sepuluh tahun. Sudah besar ya ternyata. kalau diingat kembali, maaf ya nduk, ibu tidak pernah merayakan ulang tahunmu. Kalau pulang nanti, ibu ingin membuatkan kamu pesta ulang tahun. Tunggu ibu pulang ya nduk... Dari ibu"

"Assallamualaikum, apa kabarmu dan bapak? Ibu ingat bulan ini adalah bulan Juni. Bukankah seharusnya kamu sedang ujian kenaikan kelas? Belajar yang rajin ya... Jangan jadi seperti ibu yang hanya lulusan SD dan jadi pembantu di negeri orang. Belajar yang pintar ya nduk... salam sayang ibu"



Aku kembali meneteskan air mata dengan derasnya. Aku merasa berdosa pada ibuku. Seharusnya aku percaya pada ibuku. Bahwa ibuku sayang padaku. Seharusnya aku tidak malu walaupun ibuku seorang TKI. Mengapa aku terlalu berprasangka buruk pada ibuku sendiri. Ibu maafkan aku. Aku hanya bisa berlari lalu memeluk peti mati ibu. Aku menangis dan meminta maaf di atas petinya. Memohon ampun atas segala prasangkaku terhadapnya. Ibu maafkan aku... Kini baru aku sadari bahwa ibuku menjadi TKI agar aku bisa hidup lebih baik. Ini adalah pengorbanan ibuku yang hanya seorang TKI. Terima kasih bu... Aku akan selalu menyayangimu

-Selesai-




Tidak ada komentar:

Posting Komentar