Senin, 13 Agustus 2012

Apa Sih "Birangona" itu?


Selamat Sore... (^_^)
     Epik mau kasih info nih... Semalam Epik lagi baca buku judulnya "Sex Slave" tulisan Louise Brown. Buku itu bercerita tentang keadaan prostitusi di Asia terutama negara-negara dengan tingkat prostitusi tinggi dengan korban terbanyaknya adalah wanita dan anak-anak dibawah umur dari kalangan menegah ke bawah. Kapan-kapan kalau Epik udah selesai baca buku itu bakal Epik review, soalnya saat ini Epik akan membahas sebuah kata menarik sekaligus mengejutkan yang Epik temukan di dalam buku ini. Kata tersebut adalah Birangona.

KIKOSer tahu ngga apa itu Birangona?
     Birangona adalah sebutan bagi wanita-wanita Bangladesh yang menjadi korban pemerkosaan selama perang dengan Pakistan. Selama sembilan bulan masa perang di tahun 1971, Tentara Pakistan (biasa disebut Razakars) telah memperkosa lebih dari 30.000 wanita Bangladesh. Malah ada kabar bahwa korban permerkosaan ini mencapai angka 200.000 jiwa. Pemerkosaan besar-besaran ini adalah sebuah instrumen perang. Pakistan menyerang Bangladesh melalui sosial budaya, karena di Bangladesh wanita merupakan kehormatan laki-laki. Ketika wanita-wanita Bangladesh diperkosa oleh tentara Pakistan sama saja dengan tentara Pakistan sudah menginjak-injak martabat pria-pria Bangladesh.
Para Birangona...
Razakars!
      Pemerintah telah resmi memberikan gelar Birangona kepada korban-korban pemerkosaan tentara Pakistan. Birangona sendiri dalam bahasa Bengali diartikan sebagai wanita yang pemberani. Para Birangola ini memang secara resmi merupakan pahlawan perang, namun secara sosial budaya para Birangona dianggap kotor oleh masyarakat disekelilingnya. Bahkan sebagian dari anggota keluarga mereka berpaling muka dan tidak peduli pada hidup pada korban pemerkosaan ini.
     Yang lebih mengenaskan lagi (Epik kutip dari thedailystar.net) Salah seorang Birangona bernama Raja Bala yang seorang penganut ajaran Hindu dilarang masuk ke dalam kuil. Betapa menyedihkan, ketika seorang korban pemerkosaan kejam malah diperlakukan tidak adil bahkan untuk sekedar berdoa mendekatkan diri kepada Tuhannya saja dilarang oleh lingkungannya.
      Raja Bala bertutur bahwa ia diperkosa dan ditinggalkan untuk mati begitu saja. Namun untunglah ia bertemu dengan suaminya yang kemudian membawanya ke dokter. Ia berujar bahwa ia memang selamat dan hidup, namun hidup yang ia jalani penuh dengan kesedihan dan dikucilkan. Korban lain bernama Surjo Begum juga mengalami kejadian yang sama dengan Raja Bala. Malah cerita yang menyayat hati adalah ia diperkosa tentara Pakistan hanya setelah beberapa minggu resmi menikah.
     Selain itu (Epik kutip dari calltohumanity.wordpress.com) masih ada kisah lain yaitu dari Aleya Begum. Ia bercerita bahwa selama dalam masa perang (saat itu ia masih berusia tiga belas tahun), ia menjadi tawanan Razakars bersama perempuan-perempuan lain. Selama tujuh bulan ia hanya diberi makan roti kering sekali sehari, kadang diberi sayur-sayuran. Mereka diikat dan disulut rokok oleh Razakars. Aleya diperkosa berkali-kali dalam sehari sampai-sampai badannya bengkak dan tidak dapat bergerak sama sekali. Setelah bebas pun Aleya tetap harus menelan kenyataan pahit yaitu ia telah dibuang oleh keluarganya.
     Korban-korban ini rata-rata tidak kuat menahan penderitaan sosial yang harus di tanggung. Selain trauma, luka fisik (beberapa diantara mereka ada yang payudaranya dipotong oleh tentara Razakars), harga diri yang dirampas, dan dikucilkan oleh masyarakat, ditambah lagi anak cucu mereka juga ikut dicemooh seperti yang diceritakan Raja Bala. Tak heran jika kemudian kebanyakan dari mereka memutuskan untuk bunuh diri. Beberapa yang berusaha untuk tetap hidup terpaksa menjadi pelacur karena memang hanya pekerjaan inilah yang mau menerima mereka.
     Sungguh mengerikan, ketika korban dari sebuah kebiadaban tidak dapat membela diri mereka. Bahkan harus rela ditinggalkan keluarganya yang malu terhadap diri mereka. Sungguh ironis sekali. Dari kisah menyedihkan ini seharusnya kita dapat mengambil banyak hikmah yaitu budaya memang ada baiknya dijaga dan dipelihara namun disisi lain kemanusian tetap harus dijunjung tinggi. Karena letak nilai manusia dapat dilihat dari sisi kemanusiaan yang ia tunjukan.
     Hendaknya kita merangkul mereka yang menjadi korban. Mereka tentu saja tidak mengharapkan kejadian tersebut menimpa mereka. Jadi jangan kucilkan mereka... (T^T) Hiks... Hiks...

Referensi:
-Brown, Louise. 2005. Sex Slave. London: Virago Press
-http://www.thedailystar.net/newDesign/news-details.php?nid=195252
-http://calltohumanity.wordpress.com/2012/02/18/birangona-the-forgotten-women-of-the-bangladesh-liberation-war/
-http://womenofhistory.blogspot.com/2011/09/bangladesh-birangona-victims-of-war.html
-http://bd71.blogspot.com/2007/12/pictures-04.html

Gambar-gambar:
Korban-korban pemerkosaan




Tidak ada komentar:

Posting Komentar